Maka lahirlah yang namanya lembaga sensor film, sebagai agen penyortir film dalam melawan ketakutan: pengaruh buruk film. Yang malah membatasi kreativitas film itu sendiri. Kenapa? Karena banyaknya aturan-aturan atau hal-hal yang boleh dan tidak boleh diangkat oleh para seniman film.
Bahkan, untuk sekadar judul pun ada ketentuan yang diatur. Sebut saja film karya Arizal tahun 1980-an yang berjudul 'Kiri Kanan OK', harus diganti menjadi 'Kanan Kiri OK'. Karena pada masa orde baru, hal-hal yang berbau kiri dituding sebagai hal yang buruk dan tidak boleh diletakkan di depan.
“Memperingati Hari Film Nasional, kita memberi hormat kepada mereka yang terus memperjuangkan kebebasan ekspresi tiada henti. Sebuah kebebasan untuk menghidupkan kehidupan manusia dan kemanusiaannya. Itulah makna gambar hidup,” tutup Dominique Diyose dalam narasi yang dibacanya.
[caption caption="Cut Mini ketika membacakan narasi karya Garin Nugroho pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 03 April 2016. Foto: setyaningrum"]
“Namun Indonesia bukanlah Amerika. Ketika film datang, Indonesia akrab dengan dua seni tradisi, seni tinggi dan seni rendah. Film Indonesia tumbuh dalam konflik dan hubungan seni tinggi dan seni rendah. Film Indonesia bukan seperti film Amerika, yang tumbuh sejajar dengan sejarahnya sendiri. Hollywood bertumbuh dalam sejarah yang berbeda dengan negeri ini. Melahirkan mimpi yang berbeda,” pungkas Cut Mini dalam monolognya.
Menonton dan mengapresiasi film karya anak bangsa bukan hal yang buruk, bagi diri maupun bagi bangsa ini. Maka, mencintai film nasional adalah kewajiban kita bersama, dalam turut serta memajukan bangsa lewat seni peran. Yuks, cintai lebih Film Nasional.
Jakarta, 4 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H