Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jajanan Enak ala Pasar Tradisional

12 Agustus 2015   17:06 Diperbarui: 12 Agustus 2015   17:06 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dokpri"][/caption]

*

Oleh: Setyaningrum

Pergi ke pasar, baik itu pasar modern maupun pasar tradisional, tentulah karena ada sesuatu yang ingin dibeli, berbelanja alias shopping, spend money. Atau bisa jadi, tidak berbelanja tapi hanya kurir saja, nganterin ibu atau istri berbelanja. Ujungnya sama aja kan, membeli sesuatu, hehehe.

Nah, hari Minggu kemarin saya niatan mau berbelanja buah. Saya memilih Pasar Induk Kramat Jati sebagai sasarannya. Secara ragam dan jenis pastilah banyak pilihannya, pikir saya. Begitu sampai, langsung saja saya menuju los buah pada pasar tersebut. Mulailah saya berselancar sana-sini, ngobrol sana-sini sama abang-abang penjual buah di sana. Oh, ya, kebanyakan penjual buah di pasar Induk itu laki-laki. Ada yang masih muda, namun umumnya bapak-bapak.

Ngobrol lah saya panjang lebar tentang buah-buahan, baik buah yang saya cari ataupun jenis buah lainnya. Nambah ilmu baru deh pokoknya. Tapi harus tahan polusi udara. Bukan polusi asap, tapi polusi bau. Kalau bau seger seperti mangga kweni sih ndak papa. Dengan begitu banyak jenis dan ragam buah yang datang dari berbagai kota di Indonesia, tentulah ada saja barang masuk yang kondisi sudah tidak segar lagi alias sudah busuk. Di beberapa lorong kios saya lihat beberapa orang sedang menyortir buah jeruk. Kalau posisi kios di bagian pinggir, ya tinggal lempar ke luar kios, langsung ke jalanan area parkir kendaraan. Dan itu dibiarkan menumpuk dan menimbulkan bau. Di bagian tengah los juga ada jalan yang berfungsi sama, area tempat sampah. Beberapa kali saya hampir terpeleset karena buah busuk bergeletakan.

Hampir dua jam saya berkeliling mencari buah yang ingin saya beli, namun tak ada. Tepatnya, ada satu jenis namun tak terbeli karena harus satu kardus seberat 13kg. Sedangkan saya hanya berdua saja, kapan habisnya? Alternative mau membeli jeruk dan mangga, lagi-lagi harus per peti. Urunglah jadinya. Hiks.

Tapi bukan tentang buah ataupun kondisi pasar yang ingin saya ceritakan. Tapi tentang serabi yang saya temui di sekitar los buah Pasar Induk Kramat Jati. Setelah capek menyisir los buah di dalam Pasar Induk Kramat Jati, akhirnya saya keluar.

Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling, barulah mata saya berhenti pada seorang ibu. Lalu mendekatlah saya kepadanya. Ibu tersebut berjualan serabi, dengan sederhana di pinggir jalan, tanpa tempat duduk untuk pembeli. Mejanya pun dari peti kayu bekas buah yang dengan mudah didapat di sekitar pasar, dialasi koran. Sore itu belum banyak pembeli, mungkin saya pembeli pertamanya. Lalu saya pesan setengah porsi, yaitu sebuah serabi. Serabi ditaruh di atas piring kecil dan dikucuri dengan gula merah cair.

[caption caption="dokpri"]

[/caption]

*

Saya makan serabi dengan santai, sambil duduk beralaskan sandal saya. Sambil memakannya saya ajak ngobrol ibu tersebut. Seperti, apa saja bahan untuk membuat serabi, tepung apa yang dipakai. Ukuran serabinya gede dan dihargai duaribu rupiah per buah. Kalau ukuran, menurut saya agak kegedean sih, tapi saya lihat lagi pangsa pasar serabi tersebut. Dan memang sudah klop serabi ukuran segitu di jual di sana. Serabinya memang enak, terasa banget parutan kelapa di dalamnya.

Kebiasaan yang tidak dapat saya ubah hingga saat ini ketika berbelanja di pasar adalah selalu mencari jajanan pasar ketimbang jajanan toko. Seperti sawut, getuk, putu, atau klepon. Kadang saya agak malu juga bila sedang ngobrolin kue dan saya tidak tahu apa itu kastangel, nastar, putri salju dan sebangsanya itu. Ketahuan kudet perkuean, padahal saya perempuan. Kurang suka sih jajanan sejenis itu. Duh.

[caption caption="dokpri"]

[/caption]

*

Kembali ke topik, serabi. Sambil ngobrol ngalor-ngidul akhirnya nambah juga serabi kedua. Dan si ibu ternyata sudah terbiasa dengan kamera. Ketika saya mengeluarkan kamera, tanpa saya minta si ibu ketawa dan langsung saja bergaya. Sudah sering di foto sama wartawan katanya. Makanya langsung action melihat kamera saya. Hahaha.

Hari beranjak sore ketika saya mengulurkan beberapa lembar rupiah serta ucapan terima kasih kepada ibu penjual serabi tersebut. Perut saya kenyang, ilmu serabi pun di dapat. Terima kasih, Bu.

Jakarta, 12 Agustus 2015

* semua foto adalah dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun