Saya makan serabi dengan santai, sambil duduk beralaskan sandal saya. Sambil memakannya saya ajak ngobrol ibu tersebut. Seperti, apa saja bahan untuk membuat serabi, tepung apa yang dipakai. Ukuran serabinya gede dan dihargai duaribu rupiah per buah. Kalau ukuran, menurut saya agak kegedean sih, tapi saya lihat lagi pangsa pasar serabi tersebut. Dan memang sudah klop serabi ukuran segitu di jual di sana. Serabinya memang enak, terasa banget parutan kelapa di dalamnya.
Kebiasaan yang tidak dapat saya ubah hingga saat ini ketika berbelanja di pasar adalah selalu mencari jajanan pasar ketimbang jajanan toko. Seperti sawut, getuk, putu, atau klepon. Kadang saya agak malu juga bila sedang ngobrolin kue dan saya tidak tahu apa itu kastangel, nastar, putri salju dan sebangsanya itu. Ketahuan kudet perkuean, padahal saya perempuan. Kurang suka sih jajanan sejenis itu. Duh.
[caption caption="dokpri"]
*
Kembali ke topik, serabi. Sambil ngobrol ngalor-ngidul akhirnya nambah juga serabi kedua. Dan si ibu ternyata sudah terbiasa dengan kamera. Ketika saya mengeluarkan kamera, tanpa saya minta si ibu ketawa dan langsung saja bergaya. Sudah sering di foto sama wartawan katanya. Makanya langsung action melihat kamera saya. Hahaha.
Hari beranjak sore ketika saya mengulurkan beberapa lembar rupiah serta ucapan terima kasih kepada ibu penjual serabi tersebut. Perut saya kenyang, ilmu serabi pun di dapat. Terima kasih, Bu.
Jakarta, 12 Agustus 2015
* semua foto adalah dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H