Dulu,
Saat ia menawan, membuai memadu rayuan
Indera tak jua jengah menitik langkah
Terseluk menjunjung rindu
Menoreh laku yang agung, seketika
Membelai nurani, ketika dinanti
Menbujuk kalbu, dalam alunan yang lebih menggebu,
Nera, oh nera,..
Berbalik, dan bentuklah tabir
Menerawang tak tertutupi  oleh liarnya otak
Tercenung, tanpa mengerti sebuah arti yang menghampiri
Terjaga, bila malam tlah menutupkan aroma jingga
Terbelalak, menjemput pagi menjelang
Terdiam, ranah meradang, memburu buluh,
manancap merpati
Luluh, hati masih trenyuh, masih membual
Benggala membendung sungai, ia tak habis,
tak kering kala kemarau menghampiri airnya
tak keruh kala bah melanda,
kadang,...
Semilir, Badai, Topan, Puting beliung,
satu satu, mesra menemui,
bak mempersilakan ia duduk manis bersila
meski pada akhirnya timbul sendawa
Madu, gula, khulwah,..
dan pemanis lainny pun tak mau kalah,
Membumbui hilir mudiknya rasa, hingga prasangka
Dermaga masih angin ribut, terombang ambing
ditengah skoci tiada berpeluit
hanya bisa berteriak seluas samudra
Apalah dia mendengar, kecuali hiu dan ikan kecil yang sejengkal menghampiri
selangkah menapaki
Dia bukan permaisuri, menunggu pangeran seberang menghunus pedang,
Memacu kuda gagah
Alangkah syahdunya negeri dongeng
Namun,..
Ia hanya insan biasa,
berkalang rasa dan prasangka,
memeluk harap dengan dugaan didekap
Lalu,
Tergores dalam cucurannya tinta
yang mengalir, beriring dengan rona kalbu, nan merdu
semakin medekat dengan kelopak mawar merah,
Memeluk lembayung
Menghujam, terbenam dan lekat
dalam rindunya balutan
Dan,...
pada ujungnya,
Kemana?
Kemana ia akan melerai prasangka,
manata praduga,
mengadu rasa,
melayangkan tanya, diputihnya kalbu dan jiwa nan menjelaga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H