Sebagai fans dari tim Merseyside merah, barangkali saya memiliki satu kesalahan yang, bisa jadi sulit untuk dimaafkan di kalangan suporter sendiri. Saya tidak bisa sepenuh hati membenci Manchester United, yang pada dasarnya adalah musuh bebuyutan Liverpool FC.
Sebagian teman bertanya, "Lho, kok bisa brutal banget nyebrangnya?". Ya mau gimana pun, dalam sepak bola, apa pun bisa terjadi, kan? Termasuk ketika saya memutuskan untuk mendukung Liverpool FC ketimbang Manchester United, tim yang dahulu sempat saya idolakan.
Lha, Luis Figo aja dari Barcelona bisa ke Real Madrid, kok. Termasuk juga Ronaldo Nazario de Lima. Di era sepak bola modern, contoh lain ada Robert Lewandowski dan Mario Gotze yang nyebrang dari Dortmund ke tim yang menjadi musuh bebuyutannya, Bayern Muenchen.
Sebagai fans, apakah saya diperkenankan seperti itu? Saya tidak tahu, yang jelas saya kerap kali dianggap "brutal" oleh beberapa teman saya. "Mas, itu brutal banget sih nyebrangnya---ke tim yang bisa dikatakan seteru abadi!", begitu kata mereka.
Serius. Sebagai penikmat pertandingan sepak bola, saya selalu kagum dengan bagaimana Sir Alex Ferguson membuat taktik dan mengkomposisikan pemain beserta talenta tim secara keseluruhan. Nggak sedikit pemain ternama yang direkrut United, dan lambat laun, semenjak Alex Ferguson bergabung bersama Manchester Merah pada tahun 1986, tim ini menjelma menjadi salah satu tim yang ditakuti di daratan Inggris---khususnya bagi Liverpool yang pada akhirnya total piala secara keseluruhan tersalip.
Lalu, apa yang bikin saya pindah haluan? Jawabannya betul-betul sederhana. Ketika saya melihat pertama kali cuplikan pertandingan Steven George Gerrard saat SMP, sekira tahun 2003. Saya langsung merasa kagum saat melihat bagaimana Gerrard muda bermain, sewaktu masih mengenakan nomor punggung 28 lalu ganti ke 17. Terkesan ugal-ugalan dan sembarangan, memang. Seakan ingin di-notice oleh para senior dan dunia, tentang eksistensi dan gaya bermainnya di lapangan. Apalagi ketika berhadapan dengan Everton dan Manchester United. Saya rasa, dia makin menggila.
Berawal dari Steven Gerrard, akhirnya perlahan saya lebih memilih pindah haluan untuk mendukung Liverpool, sampai dengan saat ini---bahkan ketika Gerrard sudah tidak bermain lagi untuk Liverpool FC.
Sebagaimana kita semua tahu, terutama di kalangan fans sepak bola, mendukung satu tim sepak bola adalah sikap. Dan menjadi persoalan serius ketika satu sama lain saling banter---adu argumen atau ngece tim yang menjadi musuh bebuyutan.
Sebagai fans Liverpool, saya bisa aja ngece Chelsea, Manchester City, atau Arsenal. Tapi, Manchester United? Rasanya nggak sepenuh hati bisa ngece. Masih ada rasa kagum dan tetap mendukung. Dan hal tersebut menjadi sebuah anomali, bagi seorang fans Liverpool seperti saya.
Kok ya bisa-bisanya, ngaku Kopite, tapi malah tetep dukung musuh bebuyutan juga. Tapi soal jersey dan pernak-pernik, saya lebih milih beli dan punya yang Liverpool, kok. Tentu bukan karena saya malu ketika United sedang terpuruk atau nggak stabil, lebih ke, saya tetap lebih condong ke Liverpool untuk saat ini.
Mau bagaimana pun, lebih besar dukungan untuk Liverpool ketimbang Manchester United. Dan saya telah memilih Liverpool FC sebagai tim yang didukung.
Lagipula, ada hal yang membuat saya yakin bahwa Liverpool adalah tim yang akan saya dukung sampai kapan pun---mau seri, menang, atau kalah, dan nggak akan pindah haluan lagi.
Pertama, akun Twitter saya difollowback oleh akun Twitter resmi Liverpool, dan itu menjadi kebanggan tersendiri buat saya, yang mana bisa dipamerin ke temen-temen sampai mereka keheranan---kenapa kok bisa-bisanya saya sebagai fans biasa difollowback akun Twitter Liverpool.
Kedua, gonta-ganti tim yang didukung itu bikin capek. Satu aja udah capek bela-belainnya, apalagi gonta-ganti. Hadeeeh. Belum lagi pembelaan soal pasang-surutnya prestasi dari suatu tim yang sulit diperkirakan dan harus mempersiapkan ejekan atau adu banter.
Lha, Liverpool yang dari musim 2018 sudah mulai kelihatan perkasanya saja, yang digadang-gadang bisa melewati rekor invincible-nya Arsenal, bisa kalah juga, kok. Oleh tim sekelas Watford yang sedang terpuruk di zona degradasi pula. Mau membela diri dan tim kesayangan kok susah ketika dalam situasi seperti itu.
Dalam kondisi seperti ini, menjadi fans Liverpool betul-betul sulit. Sekalinya hampir dipastikan juara dan dapat piala, eh, dibilang hibahan. Tapi, mau beralih kembali mendukung Manchester United juga nggak mungkin. Lha gimana, saya mau lihat tim kesayangan saya juara, bukan dicela.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H