Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghadapi Toxic Positivity: Niat Memahami Orang Lain kok dengan Cara Menghakimi?

4 Januari 2020   13:30 Diperbarui: 4 Januari 2020   13:45 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi para remaja sedang berdiskusi. Sumber: vebma via hipwee

Sewaktu kuliah, salah satu dosen saya pernah menyampaikan bahwa, "jadi seseorang yang mahir berbicara memang baik, tapi menjadi pendengar yang baik pun sama baiknya".

Saat itu, beliau sedang menyampaikan tentang bagaimana saat ini banyak orang berlomba-lomba untuk diperhatikan lewat gaya bicaranya masing-masing dan bagaimana dia dapat memengaruhi seseorang, baik secara langsung atau media. Namun, melupakan satu hal yang penting, banyak orang yang saat ini butuh didengar, bukan hanya mendengarkan.

Hal tersebut juga diperparah dengan semakin banyaknya orang yang lebih mudah menghakimi dibanding mendengarkan secara utuh keluh kesah orang lain lebih dulu. Selain itu, jika ada orang yang sedang dalam masa sulit lalu bercerita, tak jarang pula lawan bicara malah membandingkan sekaligus membanggakan diri sendiri secara halus dengan dirinya saat berada di posisi yang sama.

"Oh, jangan salah, gue juga pernah ngalamin hal kayak gitu, malah gue lebih parah dari elu", begitu kira-kira.

Alih-alih memberi motivasi, lawan bicara malah membuat orang yang ingin bercerita tentang keluh kesahnya merasa rendah diri karena dianggap masalahnya sepele dan seharusnya bisa di-handle dengan baik.

Ketahuilah, banyak orang yang pada dasarnya hanya ingin berbagi cerita, ingin didengar ceritanya secara utuh tanpa meminta atau harus diberi saran. Ada pula orang yang ingin meminta bantuan, namun seringkali sungkan. Jadi, penghakiman secara sepihak tanpa mendengar lebih dulu tentu tidak adil.

Hal demikian sudah seringkali terjadi di dunia nyata maupun dunia maya, bahkan jauh sebelum kata toxic positivity menjadi trending di Twitter beberapa waktu lalu.

Menjadi sosok yang positif jelas baik, namun jika terlalu positif sampai dengan mengabaikan perasaan tentu tidak dibenarkan. Karena setiap orang butuh untuk melampiaskan segala bentuk emosinya.

Cara termudah adalah dengan bercerita, dan tugas lawan bicaranya adalah memberi dukungan, mendengarkan, dan memahami apa yang sedang dialami orang lain. Akan tetapi, tidak semua orang peka terhadap hal demikian.

Menyampaikan kalimat, "coba liat keluar, deh, banyak yang lebih kurang beruntung dibanding kamu" atau "aku udah ngalamin yang lebih parah dari kamu dan berhasil, kok" tidak akan memberi ketenangan dan kenyamanan pada seseorang yang sedang butuh didengar.

Seperti contoh kalimat pada tabel perbandingan antara penyampaian empati dan toxic positivity yang dibuat oleh dr. Jiemi Ardian berikut ini:

Sumber: dr. Jiemi Ardian
Sumber: dr. Jiemi Ardian

Kalimat yang terdapat pada tabel tersebut semakin menegaskan bahwa setiap orang membutuhkan teman cerita yang baik, yang bisa memahami tanpa menghakimi, lebih khusus lagi ketika ada masalah atau sedang berada pada titik terendah dalam hidup.

Bahkan, kecewa adalah hal wajar dan pasti dirasakan oleh setiap insan yang memiliki harapan. Dan sambat, bagi saya merupakan bentuk self-care yang paling tidak bisa melampiaskan emosi negatif dari dalam diri.

Berbanding lurus dengan perbincangan tersebut, akun Twitter Konseling dengan Psikolog (@Ibunda_id) juga ikut membuat kategori 6 orang yang tergolong toxic people:

Sumber: Twitter Ibunda_id
Sumber: Twitter Ibunda_id

Dari kategori tersebut, adakah orang yang di sekitar kita yang terindikasi toxic people? Atau jangan-jangan, malah diri kita sendiri yang justru menjadi toxic bagi orang lain. Apalagi, seringkali kita tidak menyadari bahwa omongan bahkan bercandaan yang dilontarkan ada kalanya berpotensi menyakiti perasaan orang di sekitar, dengan atau tanpa disadari.

Belum lagi jika menyampaikan tidak setuju atau tidak suka dengan bahan candaannya akan dicap sebagai orang yang mudah baper. Saat ini, jujur terhadap apa yang dirasa betul-betul rumit, belum lagi komentar sembarang dari orang lain yang sulit dikontrol.

Oleh sebab itu, secara personal, di zaman yang serba dengan mudahnya memberi penilaian bahkan kepada orang yang belum dikenal sekalipun, kita diharapkan untuk pintar dalam mengolah emosi dan belajar untuk tidak menanggapi segala komentar yang dianggap kurang valid.

Menjadi orang yang positif bagi diri sendiri bukan berarti mengabaikan perasaan mereka yang butuh didengar segala keluh kesahnya.

Kalaupun pada akhirnya kita dicap sebagai seseorang yang baperan, tidak perlu diacuhkan, sih. Cukup diterima saja tanpa harus memberi klarifikasi.

Sebab, ada masa di mana kita tidak perlu repot menanggapi apa pun yang dikatakan orang lain dan pada akhirnya jika diperlukan, bersikap "bodo amat" terhadap mereka yang menebar toxic dalam pergaulan akan terasa menenangkan dan menjadi pilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun