Seperti contoh kalimat pada tabel perbandingan antara penyampaian empati dan toxic positivity yang dibuat oleh dr. Jiemi Ardian berikut ini:
Kalimat yang terdapat pada tabel tersebut semakin menegaskan bahwa setiap orang membutuhkan teman cerita yang baik, yang bisa memahami tanpa menghakimi, lebih khusus lagi ketika ada masalah atau sedang berada pada titik terendah dalam hidup.
Bahkan, kecewa adalah hal wajar dan pasti dirasakan oleh setiap insan yang memiliki harapan. Dan sambat, bagi saya merupakan bentuk self-care yang paling tidak bisa melampiaskan emosi negatif dari dalam diri.
Berbanding lurus dengan perbincangan tersebut, akun Twitter Konseling dengan Psikolog (@Ibunda_id) juga ikut membuat kategori 6 orang yang tergolong toxic people:
Dari kategori tersebut, adakah orang yang di sekitar kita yang terindikasi toxic people? Atau jangan-jangan, malah diri kita sendiri yang justru menjadi toxic bagi orang lain. Apalagi, seringkali kita tidak menyadari bahwa omongan bahkan bercandaan yang dilontarkan ada kalanya berpotensi menyakiti perasaan orang di sekitar, dengan atau tanpa disadari.
Belum lagi jika menyampaikan tidak setuju atau tidak suka dengan bahan candaannya akan dicap sebagai orang yang mudah baper. Saat ini, jujur terhadap apa yang dirasa betul-betul rumit, belum lagi komentar sembarang dari orang lain yang sulit dikontrol.
Oleh sebab itu, secara personal, di zaman yang serba dengan mudahnya memberi penilaian bahkan kepada orang yang belum dikenal sekalipun, kita diharapkan untuk pintar dalam mengolah emosi dan belajar untuk tidak menanggapi segala komentar yang dianggap kurang valid.
Menjadi orang yang positif bagi diri sendiri bukan berarti mengabaikan perasaan mereka yang butuh didengar segala keluh kesahnya.
Kalaupun pada akhirnya kita dicap sebagai seseorang yang baperan, tidak perlu diacuhkan, sih. Cukup diterima saja tanpa harus memberi klarifikasi.