Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Catatan Seorang Perekrut - Ragam Kandidat Saat Interview #10

20 Mei 2019   07:00 Diperbarui: 20 Mei 2019   07:11 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin lama, gue makin terbiasa dengan deskripsi pekerjaan sebagai perekrut, tanpa maksud menyepelekan pastinya karena gue masih harus dan terus belajar. Selain itu, akhirnya gue bisa membaur dengan yang lain di ruangan. 

Dua senior gue yang belum disebutkan namanya, diantaranya adalah Mas Taqim lalu Irma (kadang dipanggil Ocha), dengan adanya Eva dan Citra di ruangan, kebayang dong betahnya gue? Hehe. Engga, maksudnya jadi rame aja gitu.

Ga lama setelah gue masuk, kabarnya akan ada beberapa anak magang tambahan yang memang masuk dalam salah satu program pemerintah. Gue sempet mikir dan bingung juga, ada Citra dan Eva aja cukup banget, ini lagi ada tambahan anak magang, harusnya lebih dari cukup, dong? Atau bisa jadi gue sebagai staff kerjanya akan males-malesan karena banyak yang bantu. Ga bisa dihindari soal ini. Hehe

Akhirnya anak magang yang gue maksud mulai efektif berada di ruangan. Program ini mengirimkan total 10 anak magang dan rencananya akan dibagi ke beberapa divisi, IT dan Learning & Development salah duanya, di HR Rekrutmen sendiri kedapatan empat kuota, nama mereka antara lain, Jejen, Fajar, Siti, dan Ria. Mereka masih aktif kuliah dan ada pula yang baru lulus juga berasal dari kampus yang sama. 

Ga heran kalau mereka bisa gampang akrab satu sama lain meski beda angkatan. Cerita soal mereka akan diselipkan di beberapa bagian setelah ini, mereka berempat ini lucu dengan segala keragaman karakteristiknya. Ya, laiknya seseorang yang sedang dalam periode dewasa awal, mereka labil dan ada aja tingkah lakunya.

Dalam keseharian proses yang gue lakukan, gue selalu dibantu Citra dan Eva. Biasanya Eva bantu dalam pelaksanaan psikotes, sedangkan Citra bantu gue ketika proses wawancara berlangsung. 

Ya, ketika kandidat yang walk in interview menumpuk, gue sering mengajak Citra untuk wawancara bareng gue. Selama proses wawancara -dari awal datang, wawancara, sampai akhir- ada beberapa kandidat yang memang unik. "Nyeleneh", tepatnya. 

Koreksi gue kalau salah, dari gue lulus kuliah dan dapet panggilan wawancara kerja pertama gue selalu mengenakan pakaian rapi formal ketika interview (sampai sekarang bahkan), nah ini ada kandidat yang mau wawancara datang gitu aja pake legging, kaos, lalu sendal main, bro. 

Asli, ini nyata. Kaget gue. Lain dari itu ya berpakaian rapi dan sopan. Ketika wawancara, ada kandidat yang memang cuma jawab "iya", "aku siap, Pak" dan manggut aja, mereka apa ga sadar ya komunikasi itu salah satu hal yang mau diperhatikan. Kalau cuma jawab "aku siap", yha SpongeBob juga bisa, tiap hari dia bilang kayak gitu selama main di Bikini Bottom.

Ada kandidat yang dengan rajin melampirkan banyak sertifikat (seminar,  kursus, dll.), kalau lagi iseng gue pasti nanya ke kandidat soal sertifikat ini satu per satu.

"Mas/Mba, sertifikat ini dulu didapat dalam acara apa? Ilmu atau pengetahuan apa aja yang di dapat? Ada info soal potongan harga di alfamerit, ga?", tanya gue.

Dari mereka cuma keluar jawaban template,

"Hmm (ala Nissa Sabiyan), lupa, Pak. Soalnya udah lama ikut seminarnya. Hehe".

Ya kalau lupa ngapain dicantumkan. Sebagai "pemanis CV", iya, gue paham. Kalau gue, biasanya ga melampitkan sertifikat yang memang gue lupa itu gue ikutin dalam rangka apa, relate ga sama posisi yang gue lamar. Ada juga kandidat yang mencantumkan banyak ijazah entah pendidikan terakhirnya sarjana atau diploma. 

Padahal, ketika kita sudah dapat gelar sarjana secara otomatis udah lulus SMA/SMK (atau sederajat), dong? Ngapain pula dilampirkan ijazah SMA, transkrip nilai ujian SMA, dan lain-lain.

Panggilan buat gue pun beragam. Gue inget betul, kali pertama selama proses wawancara dipanggil "kakak" sama kandidat, waktu itu bareng Citra. Kami nanya pertanyaan biasa, lalu tiba-tiba dijawab,

"iya, Kak, saya siap dengan target".

Sontak gue dan Citra langsung tatap-tatapan dan senyum nahan tawa. Setelah wawancara selesai, gue kaget lah dan bilang ke Citra,

"ini serius gue dipanggil Kakak? Selama gue wawancara, gue selalu manggil interviewer pake sapaan Mas/Pak atau Mba/Ibu, deh", dumel gue.

"Ga tau tuh, Kak, kocak", balas Citra.

"Apa jangan-jangan dia adek-adekan gue waktu SMA ya, Cit. Terus kami dipertemukan lagi sekarang?" Sahut gue menimpali jawaban Citra.

Dipanggil Abang? Pernah juga! Makin bingung gue, kandidat ini kok banyak yang manggil interviewer dengan kata sapaan yang ga lazim, ya. Begini percakapan gue dengan kandidat tersebut:

"Mba, bisa diceritakan apa motivasimu melamar sebagai Call Center?"

"Ga tau, Bang. Saya ke sini karena info dari teman saya aja, Bang."

"Boleh disebutkan apa aja kemampuan yang Mba miliki?"

"Ga tau, Bang, saya belum tau kemampuan saya apa aja, tapi saya mau belajar, Bang. Jangan marahi saya, Bang."

Gue bingung karena gue ga berniat dan ga akan marahin juga, nada bicara gue pun biasa, sampai akhirnya gue mengajukan pertanyaan terakhir.

"Mba, kasih saya alasan kenapa saya harus menerima dirimu?"

"Yang menilai biar Abang aja, tapi saya mau belajar, Bang. Jangan marahin saya, karena saya takut dimarahin, Bang".

Makin bingung aja gue, udahlah dipanggil Abang, jawaban dia selalu diawali dengan kata "Ga tau", lalu dia bilang jangan marahin. Sumpah, dari awal gue wawancara biasa aja dan ga mau marahin juga. 

Sewaktu gue ikut wawancara sebagai pencari kerja, gue pasti panggil HRD itu dengan sapaan "Ibu/Mba" atau "Pak/Mas". Bahkan kadang gue suka minta persetujuan, "saya bisa panggil dengan sapaan Bapak atau Mas, ya, maaf?".

Wawancara kandidat yang luar biasa? Pasti pernah, lah. Sampai sekarang, ada satu kandidat perempuan melamar untuk posisi Call Center yang menurut gue luar biasa kemampuannya dalam berkomunikasi, cheerful juga orangnya. 

Dari pertama berkenalan dalam proses wawancara, gue yakin dia akan diterima oleh User. Setelah gue ajukan, betul aja, dia dapat penilaian yang sangat baik dan bisa segera join. 

Kandidat pertama di awal masa kerja gue mengajukan ke User dan akhirnya bisa "tembus". Gue seneng karena kali pertama mengajukan kandidat ketika ada kebutuhan pemenuhan (deadline), disaat itu juga gue dapat kandidat yang cocok.

Setelah beberapa bulan magang, akhirnya Eva dapat tawaran untuk mengisi HR Representative untuk satu  klien di kantor. Ga lama dari Eva dapat tanggung jawab baru, kontrak magang Citra pun akan segera berakhir, sudah ditawarkan kontrak baru hanya saja untuk magang, Citra bimbang karena posisi dia sudah lulus kuliah. 

Betah, tapi sebagai fresh graduate dia butuh pengalaman kerja agar benefit dari segi ilmu, kemampuan, dan pendapatan meningkat. Citra sampai sempat menangis curhat soal kebimbangannya dia. 

Gue cuma bisa menenangkan dan mengingatkan, pikirkan baik-baik dan minta atau dengar saran dari orang tua. Berat, tapi, Citra harus tetap menentukan pilihan.

It's hard to move on, but you do, you have to (,Citra). -Steven Gerrard.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun