Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Catatan Seorang Perekrut - Do The Impossible #5

2 Mei 2019   06:19 Diperbarui: 2 Mei 2019   06:57 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Dokumentasi pribadi)

Akhirnya gue tiba di lokasi interview di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, untuk keperluan interview sebagai Rekruter. Gue diminta untuk mengisi form aplikasi (pendaftaran), lalu menunggu nama gue dipanggil oleh pewawancara. Kala itu hari kamis, tepatnya tanggal 6 Juli 2017. Gue memakai kemeja garis putih biru, celana bahan krem, pantofel boots warna cokelat. Ya, gue ingat betul outfit yang gue kenakan waktu itu.

Sama seperti proses pada umumnya, jelas, gue engga sendiri, ada orang lain dengan latar belakang pendidikan sama yang melamar untuk posisi ini, sebagai Rekruter. 

Di luar dugaan gue, ternyata dua senior gue di kampus ikut proses ini, total sama gue jadi empat orang, plus satu orang dari kampus lain. Tau akan hal itu, gue yang tadinya siap "menjual kemampuan" gue ke perusahaan langsung turun mental juangnya, bukan tanpa sebab, dua senior gue ini sudah berpengalaman di bidang HR plus rekrutmen. 

Lalu, apalah gue ini yang pengalaman kerja pertama justru di perbankan? Bukan maksud tidak menghargai orang-orang di kantor sebelumnya, apalagi menyepelekan ilmu yang didapat di sana, tapi, kebayangkan? Gue yang dianggap "lulusan baru" harus berhadapan dengan senior, berpengalaman.

Pasrah dan lesu gue saat itu, nothing to lose. Do not go down without a fight, pikir gue.

Gue mencoba menenangkan diri dengan cara mengobrol dengan dua senior gue itu, sambil cari celah dan "mengamankan" komunikasi gue biar ga terbata-bata dan kaku, juga kembali optimis. Bersiap do the impossible.

Dua senior gue dipanggil lebih awal untuk interview, mereka tampak tenang dan percaya diri selepas interview. Tibalah saatnya gue yang diinterview. Awal mula pastinya gue memperkenalkan diri, soal latar belakang pendidikan, pengalaman sewaktu di kampus, pengalaman kerja. 

Gue cerita banyak hal soal gue dulu pernah jadi asisten lab psikologi untuk menjual kemampuan gue di bidang alat tes psikologi, kemudian gue cerita semua yang gue kerjakan sewaktu gue kerja di bidang perbankan.

Terakhir, gue dapet pertanyaan,

"kenapa mau kerja sebagai rekruter?", Gue mengela nafas, diam sejenak.

Gue senyum, lalu gue jawab dengan antusias,

"saya suka sekali ruang lingkup ini, saya menyukai apa yang saya lakukan selama kuliah, saya ingin menambah kemampuan saya di bidang ini".

Wawancara tahap pertama selesai, sekitar jam 10 gue psikotes bersama dengan senior gue. Beres sekitar jam 12, lalu istirahat. Diinfokan bahwa akan interview lanjutan dengan Manager HR jam 14.00.

Lega, akhirnya gue bisa lanjut menunjukan antusiasme gue ke Manager nanti di jam 14.00, sambil menunggu momen itu, gue makan dulu, mau gimana pun, gue lapar. Hehe. Singkat cerita, gue selesai makan siang, lalu langsung kembali ke lantai atas lokasi wawancara.

Gue urutan pertama kandidat yang dipanggil oleh Manager. Deg-degan bukan main, tapi gue coba menetralisir situasi. Gue memasuki ruangan dengan menyapa Pak Manager,

"siang, Pak".

Lalu dibalas dengan sapaan, "siang, Mas. Silakan duduk, dengan Mas Seto, ya".

Dilanjut dengan perkenalan diri gue, pengalaman kerja gue sebelumnya di mana, apa aja yang dikerjakan. Sampai pada pertanyaan terakhir gue ditanya,

"Mas, terakhir aja dari saya, kasih saya alasan, kenapa saya harus memilih Mas Seto?".

Waduh, sempet blank gue ditanya soal ini, karena gue harus bisa "menjual" diri gue melalui jawaban yang keluar dari mulut gue yang mulai grogi dan agak pasrah. Entah dapet kekuatan dari mana, mulut gue spontan menjawab,

"saya punya integritas dan komunikasi yang baik, saya rasa hal itu dibutuhkan oleh perusahaan".

Setelah jawab itu, gue langsung mikir, "loh? Itu spontan banget gue jawabnya? Seakan ga mikir dulu". Selesai sesi wawancara gue yang berjalan sekitar 7 menitan.

Dilanjut dengan senior gue yang wawancara dengan Manager. Dia lama banget di dalam ruangan, sekitar 20 menit.

Setelah beres gue langsung ngobrol sama dia, yang ditanya apa aja, kok bisa lama. Dia menjelaskan apa aja yang ditanya, salah satunya soal benefit. Gue down saat itu, karena gue ga ditanya soal benefit. Makin pesimis gue, gue ga ditanya apa pun soal benefit beserta negosiasi lainnya.

Gue juga langsung ngabarin istri gue,

"kayaknya aku ga diterima, deh. Soalnya yang lain ditanya benefit dan udah pengalaman, aku ga ditanya soal itu sama sekali".

Istri gue jawab, "ga apa-apa, yang penting kamu udah coba. Kita liat aja nanti".

Setelah itu gue langsung pulang dengan pasrah dan pemikiran, "ikhlasin aja lah kalau belum rezeki". 

Mau gimana pun, gue udah mencoba, berusaha, berjuang juga buat posisi yang gue mau. Gue udah memberikan proses yang terbaik yang gue bisa sewaktu wawancara, psikotes, dan lain-lain. Selebihnya, gue tinggal berusaha lagi biar bisa kembali bekerja, memberi nafkah untuk istri dan anak.

Do the impossible.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun