"Sejujurnya, kawan, aku sudah mulai terbiasa hidup tanpa berbicara. Buku-buku inilah yang menemaniku sepanjang hari. Sampai-sampai waktu pertama kali kita bicara tadi, aku sempat lupa bagaimana caranya mengucapkan kata-kata. Jika pun tak ada yang berhasil menjawab tantangan Presiden dan hari esok menjadi dunia yang benar-benar gelap bagi orang yang suka berbicara, kita mau apa? Lagipula, nyaris mustahil ada orang yang bisa menemukan kata baru yang belum pernah digunakan, serta bisa untuk dipakai komunikasi tanpa bahasa isyarat. Mustahil."
Parmin menunduk sebentar, dan segera mengangkat wajah.
"Barangkali memang bukan masalah untukmu, Ruiga. Tapi gara-gara kebijakan aneh Presiden, aku kehilangan pekerjaanku sebagai penyanyi. Keadaan ekonomi ambruk, hingga merosot total. Istri dan anak-anakku kabur. Selama dua tahun lebih aku tinggal seorang diri, dalam keadaan sepi. Andai pun aku bisa bernyanyi kembali, barangkali tak sesepi itu."
"Istri dan anak-anakmu pergi? Mengapa baru bilang?"
"Percuma jika kita bertemu, toh tak ada yang bisa kita bicarakan selama kebijakan itu masih tertancap."
"Ya pakai surat, barangkali. Andai tahu, tentu aku bisa membantu kalau cuma masalah ekonomi."
"Aku belum pernah membuat surat, Ruiga. Ah, kembali ke topik utama. Bagaimana menurutmu? Berapa kemungkinan tantangan Presiden akan terjawab?"
"1%."
"Hanya satu persen?"
"Iya, aku telah banyak membaca dari segala jenis buku. Mulai buku yang membicarakan asal-mula, peradaban, kekayaan, sejarah, dan segala seluk-beluk tentang dunia ini. Tapi nyaris semua kata-kata masuk dalam kamus bahasa. Dan belum pernah aku mendengar atau terpikirkan satu kata yang sama sekali asing, tapi langsung bisa dipakai untuk berkomunikasi."
"1%. Tapi tak mustahil, bukan?"