Dalam buku "You Can Win", Shiv Khera mengatakan kalau orang baru bisa disebut berpendidikan setelah memenuhi dua kriteria ini.
Pertama, mereka yang bisa mengelola dengan baik kesempatan yang didapatkan setiap hari. Ini artinya hari-hari yang dilalui oleh seseorang merupakan kesempatan. Secara sederhana, waktu adalah kesempatan untuk siapa pun. Pada hari-hari tersebut ia yang berpendidikan bisa menilai situasi dengan tepat saat timbulnya dan jarang melenceng dari jalur yang benar. Ini kriteria yang pertama.
Kriteria yang kedua, mereka yang dihormati dalam hubungannya dengan semua orang. Semua, tidak terkecuali. Semua orang berpendidikan pasti bisa menempatkan posisi di mana pun berada. Apakah ia ada di sekeliling orang berperangai buruk, orang intelek, dan lain sebagainya. Ia selalu tampil jadi pribadi yang menyenangkan.
Banyak yang masih beranggapan bahwa "pendidikan" memiliki padanan kata "sekolah". Dengan kata lain, orang-orang yang bersekolah dialah yang berpendidikan. Jadi, inilah yang menjadi patokan ketika suatu badan usaha atau perusahaan akan merekrut pegawai baru. Padahal tidak begitu.
Di sekolah memang diajarkan cara mencapai nilai bagus. Tapi bukan itu yang penting. Dalam sekolah yang maju seperti Finlandia, pendidikan moral lebih banyak diterapkan daripada pendidikan akademis. Ketika sebuah sekolah atau universitas lebih memberlakukan pendidikan moral daripada segalanya, akan ada dua keuntungan besar: pertama, para peserta didik akan selalu dirangsang untuk memiliki sikap positif; kedua, dengan pendidikan moral yang baik mereka akan lebih menghargai diri sendiri.
Inilah yang kerap hilang dan jarang diajarkan secara rutin di sekolah-sekolah. Bahkan masih banyak yang mengklaim bahwa murid yang memiliki nilai rapor tertinggi, pertanda dia berhasil. Sebagai akibatnya, ia akan mendapat banyak perhatian berupa beasiswa prestasi, dan suntikan dana untuk biaya sekolah tingkat lanjut.
Lalu, bagaimana dengan murid yang berperilaku baik dan selalu berupaya menghargai usaha sendiri namun hasil nilai akademisnya kurang begitu baik? Biasanya banyak yang mengabaikan dan menganggapnya tidak penting alias tidak istimewa.
Namun saya bersyukur sekali pendidikan sekolah yang sekarang mengalami kemajuan. Terutama dalam membentuk nilai-nilai moral. Ini terjadi pada keponakan saya sendiri. Ketika ia pulang sekolah, saya hadang. Jadi, ia belum boleh masuk rumahnya sebelum menjawab pertanyaan saya. Jawaban yang ia dapat betul-betul mengejutkan saya. Jawaban yang ia katakan jauh berbeda dengan apa yang saya alami ketika masih mengenakan seragam selama 12 tahun. Begini curhatnya:
"Dek, tadi di sekolah ngapain aja?" tanya saya.
"Bermain, Paman. Kata Bu Guru bermain sambil belajar."
Mulai dari penuturan itu, saya semakin tertarik bertanya lebih lanjut. Dengan jawaban itu saya yakin kalau keponakan saya siap menjalani masa-masa pembinaan di Sekolah Dasar kelas 1. Selamat berjuang. Ini lanjutan pertanyaan saya.