Mohon tunggu...
Seto Permada
Seto Permada Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten

Penulis Cerpen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Tua dan Televisi yang Menyala

3 September 2017   17:52 Diperbarui: 3 September 2017   18:36 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelaki Tua dan Televisi yang Menyala (Gambar: www.ExitoXMinuto.com)

Sejak lelaki tua itu menerima paket dari Jakarta, ia jarang sekali keluar rumah. Anjing sabun kesayangannya yang bernama Dori, mati terlindas mobil truk bermuatan kayu. Praktis, aktivitas sehari-hari cuma memencet-mencet tombol remote control. Sesekali memutar leher andaikata pegal. Atau meluruskan kaki bersila supaya semut-semut gaib yang merubung lekas pergi.

Tomi, anak semata wayang itu memang tak tahu diri. Disuruh pulang, banyak alasan. Ketika kecil minta ini-itu dituruti. Setelah besar dan cukup mengerti cara mencuci mulut di toilet Jakarta mulai berlagak. Padahal, bapaknya cuma ingin melihat dua cucu kecil sudah bisa bertingkah seperti apa. Tiada sudi melihat anaknya sendiri. Andai dibandingkan, tentu saja lebih mulia Dori daripada Tomi. Meski pekerjaan sehari-hari Dori menggonggong dan mengejar ekornya sendiri, binatang itu masih sempat menjilat punggung tangan lelaki tua.

Suatu kali, Tomi mengirim surat dan sampailah ke tangan lelaki tua. Lelaki tua itu membukanya. Kacamata yang tergeletak di meja dipasangkan ke mata. Seketika ia terlonjak dari tempat duduknya.

"Bapak. Jika Bapak memang ingin melihat dua anakku, paketan berikutnya aku belikan HP android, ya. Kita bisa talking sambil video call. Ah. Maksudku, Bapak bisa bicara langsung dengan kedua anakku lewat layar HP. Mau?"

Kata tanya terakhir itu sungguh bikin lelaki tua kelabakan. Tak perlu menawar jika memang ingin memberi. Soal penggunaan benda canggih, ia bisa carikan solusi lewat tetangga-tetangga terdekat. Kelihatan sekali anaknya itu tengah berusaha melupakan dirinya. Maka, ia pun membalas dengan tanda perintah dan huruf kapital, "KIRIMKAN SAJA TELEVISI LAYAR 40 INCH!!! LALU KAU TAK USAH KABARI AKU. URUS SAJA KEHIDUPANMU SENDIRI!"

Seminggu kemudian, datang paket. Tukang pos menjulurkan selembar kertas pada lelaki tua. Tak lupa pula menyerahkan bolpoin untuk tanda tangan.

Lelaki tua sewot, "Ini yang beli anakku dari Jakarta. Aku tidak punya uang."

"Iya, Bapak. Cuma tanda tangan saja, untuk formalitas," tukang pos itu mesam-mesem.

Ketika paketan dibuka, lelaki tua sebetulnya berharap anaknya minta maaf. Berpikir ulang melakukan kunjungan ke rumahnya. Dan semacamnya. Akan tetapi, harapannya itu kurang beruntung. Di atas televisi yang masih disampuli plastik, tertulis dengan tinta tebal, "Selamat menonton, Pak."

Lelaki tua tambah senewen.

***

Kini, lelaki tua tidak perhatian pada televisinya sendiri. Tidak perhatian pada dirinya sendiri. Tidak perhatian pada rumahnya sendiri.

Tak terhitung berapa laba-laba merenovasi sarangnya di kolong-kolong. Debu dibiarkan menebal lapisi apa saja benda milik lelaki tua. Kabel-kabel penghubung televisi carut-marut tergigit gigi tikus sebagian. Kalau lelaki tua sedang waras, dia kagetkan tikus-tikus yang tengah beraksi. Binatang-binatang bau apak itu pun lari tunggang-langgang. Kalau dalam mode normal, ia membiarkan tikus-tikus semau mereka berbuat apa saja. Jika perlu ajaklah teman-teman mereka sekalian.

Pada awal kehadiran televisi di rumah, lelaki tua langsung memanggil tukang reparasi elektronik. Karena lelaki tua terlalu bangga, ia berkali-kali sampai menyebut-nyebut, "Ini anakku yang beli. Anakku yang tinggal di Jakarta itu?"

Tetapi siapa peduli?

Ocehan lelaki tua cuma mengambang. Tukang reparasi naik genting dan membetulkan baut yang longgar di batang parabola. Kerusakan lainnya: baru punya televisi dan parabola baru, lelaki tua sudah bikin ulah. Ia heboh ketika tanpa sengaja memencet tombol radio dan tak bisa mengembalikan ke mode AV 1.

Sejak didatangi tukang reparasi, lelaki tua tidak pernah berani iseng dengan remote control-nya lagi. Ia bangun terlalu pagi. Dan juga terlalu lupa sarapan karena terlalu asyik memencet-mencet remote control. Dia bukannya gemar dengan acara di dalamnya, akan tetapi dia selalu merasa lebih hidup ketika melihat saluran televisi berpindah-pindah dalam tempo kilat.

Sekali waktu ia berhenti. Sorot layar televisi begitu terang. Ia tidak tahu bagaimana caranya mengatur warna dan kontras. Maka, pembawa acara yang tengah membaca berita pun berpenampilan secara berlebihan. Bibir menor. Pipi merah muda. Rambut terlalu gelap. Dan ada bias cahaya di sebelah kanan-kiri tubuh wanita kantoran itu. Mau tidak mau.

Lelaki tua, toh, sama sekali tidak memedulikan warna yang canggung. Dia masih bisa menikmati apa yang ada. Bahkan, sempat pula ia bayangkan jika wanita itu adalah istrinya. Secara kasatmata memang mirip. Atau matanya saja yang keliru? Ia bertanya-tanya, apakah setelah mati, istrinya masih secantik pembawa acara?

Lama-lama, lelaki tua bosan melakukan rutinitas monoton itu. Ia meletakkan remote control ke atas meja. Dekat dengan pas foto bergambar Dori tengah dipeluk istrinya. Diiringi dengus kesal, ia pun terpaksa menghentikan aktivitas memindah-mindah saluran televisi dengan kecepatan kilat. Ia membiarkan sebuah saluran televisi berjaya tanpa terusik sedikit pun.

***

Setelah dua tahun melewati waktu tanpa makan dan minum, lelaki tua akhirnya mengantuk juga. Ia tertidur di atas mebel. Kepala ambruk ke lengan kiri mebel. Semut-semut yang tengah menggotong remah-remah busuk dari lemari makanan berlumut kebetulan menabrak jempol kakinya. Ramai-ramai semut itu mengangkat dan menggeser kaki lelaki tua agar tidak mengganggu jalur darat mereka.

Sementara itu, rombongan tikus semakin santer menggigiti kulit kabel, tetapi tidak sampai menyentuh kumparan kawat di dalamnya. Tiga tikus yang penasaran berhasil mencongkel sisi belakang televisi. Ketiga-tiganya masuk televisi, kesetrum, dan mati terpanggang arus listrik saat itu juga.

Dalam tidur, lelaki tua tersenyum, kadang tertawa, atau mengigau, "Aku bahagia. Aku bahagia. Lebih bahagia daripada kucing mencuri ikan dan menggigit setulang-tulangnya."

Lampu otomatis yang terpasang di atas ubun-ubun lelaki tua soak. Semakin soak, dan akhirnya padam sama sekali. Di dalam rumah lelaki tua, antara siang dan malam tidak ada bedanya. Televisi masih dibiarkan menyala. Entah acara apa, lelaki tua masih bahagia dalam tidurnya. Sampai-sampai ia tak tahu ada seekor capung tersesat berkali-kali menubruk layar televisi, jatuh menggelepar, dan tak lama kemudian dikerubungi semut-semut kelaparan.

***

Para tetangga mengira rumah lelaki tua tak berpenghuni lagi. Siapa pun yang kebetulan lewat, bulu kuduknya selalu berdiri ketika menatap rumah lelaki tua yang seperti rumah hantu. Dari luar, di bagian mana pun selalu terpasang jaring laba-laba: di lubang angin, celah jendela, celah pintu, kaca-kaca. Dan kalau malam, orang-orang, terlebih lagi dua sejoli yang suka pacaran di tempat-tempat sepi dan gelap, seketika berteriak, kemudian ngacir ketika mendengar suara misterius bercakap-cakap di dalam rumah lelaki tua.

"Rumah siapa itu?" tanya seseorang suatu kali.

"Oh, itu rumah Kakek Ukaba."

"Kok sepi dan kalau malam angker, ya. Apa tidak ada yang menghuni di sana?"

"Dulu, cuma Kakek Ukaba yang mendiami. Anak semata wayangnya sudah jadi orang Jakarta dan tak balik-balik. Konon, Kakek Ukaba suatu hari diberi televisi oleh anaknya itu. Dan sejak itu dia tidak keluar. Beli nasi uduk di warung Bi Tinah seperti sebelumnya pun tidak. Pompa air listriknya juga tak pernah menyala. Pasti sudah mati dan jadi mayat dia. Siapa yang berani ambil bangkai menahun itu? Yang ada lari ngibrit."

"Kalau sudah mati dan jadi bangkai, kok ketika aku lewat tidak mencium bau busuk sama sekali, ya? Cuma ada suara-suara aneh."

"Nah, itu anehnya."

***

Setelah tidur selama setahun, lelaki tua bangun. Dengan susah payah dia membuka bola mata. Semut rangrang yang kebetulan sudah lama bikin sarang di wajahnya geger. Mereka menggigit wajah lelaki tua semau udel. Beberapa justru mengencingi bola mata yang terbuka itu.

"Aaaaaaaaaarrrrrrrhhhhhhh!!!" dia memekik kesakitan.

Layar televisi yang masih menyala telah sepenuhnya diselimuti oleh debu dan sarang laba-laba. Baju dan celana lelaki tua sudah tak berbentuk lagi. Beberapa tikus keluar dari saku baju dan celananya begitu ia meregangkan otot-ototnya setelah tidur panjang.

Untuk pertama kalinya, para tetangga baru berani memasuki rumah lelaki tua itu setelah tiga tahun dianggap jadi hantu dan setelah mendengar dengan jelas teriakan itu yang sama sekali bukan ciri khas teriakan hantu.

***

Purworejo, 30 September 2016

 

(Pernah dimuat di Radar Surabaya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun