Mohon tunggu...
Setio Budianto
Setio Budianto Mohon Tunggu... Guru - Saya adalah seorang Praktisi dan Akademisi Pariwisata, juga Guide Berbahasa Inggris. Disamping itu menulis buku fiksi dan non fiksi

Saya menyukai Pariwisata dan kebudayaan, sejarah terutama masa klasik Hindu Buddha. Juga menyukai perjalanan wisata serta topik mengenai lingkungan hidup serta pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Tarian Bocah Perkebunan (5) 2008 : Kenangan Pahit

17 Juni 2023   09:40 Diperbarui: 17 Juni 2023   10:54 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenangan Pahit

Toko Oen, Malang

            Toko ini sungguh klasik,  bersitektur Belanda. Temboknya meskipun tebal tua, namun tersenyum begitu ramah pada siapapun yang datang, termasuk tiga tamu yang datang sore itu. Stefan menyatakan, Pak Kacong sebagai owner Sunise Holiday, juga meng-Handle Tourist Information Center di Toko ini. Maka melihat kedatangan Stefan yang telah dikenalnya, segera saja ia mendekat. Pak Kacong masih dalam busana kerja hari itu.

            “Hai Pak Kacong!”

            “Hallo Stefan. Bertemu lagi kita!?”

            “Betul Pak! Oh ya perkenalkan ini Mr Ludwig dari ILO, dan Mr Johan dari OHCHR!”

            “Oh yes. Kacong!” Ujarnya sambil mengulurkan tangan yang segera disambut hangat.

            “Bagaimana tidurnya di Hotel Pelangi semalam …nyenyak?” tanya pria Indonesia itu sambil menoleh kearah selatan

“Wah segar, nyaman Pak Kacong!” sahut Ludwig. Di kesempatan ini, Stefan juga sedikit ingin mengakrabkan dua koleganya dari Swiss dengan tuan rumah…

            “Malang ini sungguh dingin, ideal sekali untuk berlibur. Apakah Bapak berasal dari sini?” Tanya Ludwig.

            “Oh, tidak. Saya berasal dari Banyuwangi…tepatnya sekitar perkebunan yang beberapa waktu lalu dikunjungi Pak Stefan,” jawab Kacong dengan pandangan menerawang. Tiap kali bercengkerama dengan seseorang tentang tanah kelahirannya, ia sering sekali hanyut. Hanyut pada berbagai kenangan yang pernah ia renda disana. Ia jadi rindu pada kali tempat ia mandi, selepas mencari kayu bakar. Juga pada teman-teman masa kecilnya, atau selepas ia dikejar para mandor perkebunan setelah mencuri mangga-mangga mereka.

            “Mm…maaf, Pak Kacong melamun?” giliran Johan angkat bicara.

            “Mm… pff… eh tidak…” jawab Kacong terbata… Ia agak tersipu, lalu Stefan mendekati.

Semua yang hadir jadi merasa tak enak hati, meski Johan dan Ludwig tidak begitu paham bahasa Indonesia, namun ia dapat melihat ekspresi kesedihan itu. Namun, tiba-tiba Pak Kacong berkata tapi dengan nada yang sama sekali lain.

              “Mungkin Pak Kacong bisa menceritakan sedikit tentang tanah kelahiran Bapak…” Stefan memohon. Akhirnya Pak Kacong pun buka mulut.

      “Tanah kelahiran yang sangat indah. Banyak kenangan tak terlupakan disana. Teman – teman masa kecil juga orang – orang yang baik di perkebunan. Namun, ada juga kenangan yang menyesakkan. Keluarga kami yang serba kekurangan, hingga akhirnya kami harus mengalah. Tak ada harapan lagi di sana. Tapi itulah hidup, air pun ada pasang surutnya. Disana, di perkebunan penuh cerita untuk saya” urai Kacong menerawang. 

Suaranya parau, sementara wajahnya bagai bulan di tutup awan. Tak dapat disangkal, suaranya bergetar. Tapi sebagai laki – laki yang tegar, pantang baginya untuk menunjukkan kesedihan. Stefan segera tanggap dan menepuk – nepuk pundak pria itu…

       “Oh, Pak Kacong, maafkan kami. Bukan, bukan maksud kami…” Stefan dan kedua koleganya merasa bersalah.

       “Oh tidak. Tak apa, itu memang hal pahit yang dialami keluarga kami…” suara pak Kacong tercekat.

       “Maaf Pak… Sepertinya ada orang – orang yang tidak menyenangkan dalam hidup Bapak, terutama di masa lalu…” Stefan yang sedikit lancar berbicara Bahasa Indonesia berusaha mengorek lebih jauh. Sekali waktu ia menoleh ke arah Fitz dan Jo untuk memeperoleh persetujuan. Mereka berdua manggut – manggut dalam diam...

       “Betul memang ada. Banyak orang – orang kolot di perkebunan yang anti perubahan, mereka merasa tidak nyaman dengan hal – hal baru yang mengancam eksistensi mereka. Salah satunya seorang pejabat perkebunan yang bernama Broto dan Darpo. Broto memiliki anak bernama Birowo. Sedang Darpo adalah ayah Ipan. Waktu aku kecil, kehidupan sungguh tidak mudah, terutama orang – orang kecil seperti kami. Dimusuhi, ditindas, tak diberi kesempatan sedikitpun… Sehingga akhirnya kami menyerah … Kalah!”

Ada sebentuk bongkah batu besar menghimpit dada Pak Kacong, saat mengucapkan hal itu. Nafasnya begitu panjang dan berat. Sejurus kemudian ia menghela nafas, sebelum melanjutkan. Ketiga tamu hanya terdiam menunggu...

            “Tapi disana juga masih ada orang perkebunan yang baik, misalnya pejabat yang bernama Pak Daniar. Orangnya baik, sangat baik. Juga  Pak Djati. Mereka orang yang visioner,” ujar Kacong dengan mata berbinar.

 Mendengar hal itu, ketiga orang asing ikut senang. Ternyata masih ada secercah harapan di perkebunan…

            “Oh, betulkah?” Ludwig sampai berdiri.

            “Betul, begitulah…Tak semuanya buruk. Ada malam, ada siang. Nanti kita akan mengunjungi mereka!” ujar Pak Kacong tesenyum lebar.

            “Oh, kami senang sekali Pak!” ujar ketiganya hampir bersamaan. Bersamaan dengan itu, menu andalan Toko Oen muncul. Ada es krim, juga aneka roti jadul. Kudapan khas Belanda.

            “Oh…mari-mari, kita rayakan awal kegiatan kita dengan menyantap makanan Eropa ini!” Pak Kacong sebagai tuan rumah ambil peran. Menu-menu Eropa ini mengingatkan para tamu akan kampung halaman. Membuat mereka ingin pulang. Semuanya telah makan, kenyang. 

            “Lezat sekali Pak. Senang, masih bisa merasakan makanan Belanda disini..he he he…Oh ya Pak…mengenai rencana ke Banyuwangi bagaimana?” Tanya Stefan.

            “Oh ya, kita nanti naik jalan darat saja, suka adventure kan?” jawab Pak Kacong sambil tersenyum.

            “Oh…tentu saja suka. Sangat menarik!” mereka jawab serempak sambil toss bersama.

--------BERSAMBUNG----

Cuplikan bab selanjutnya : kelompok anti perubahan di perkebunan mulai "kepanasan" dengan berita kepulangan  Kacong ke kampung halaman...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun