Ketika kita melangkah lebih jauh, kita menemukan sesuatu yang lebih berbahaya daripada prospek negara represif yakni ketidaksadaran kekuasaan. Rieke Diah Pitaloka menekankan gagasan ini dalam bukunya Kekerasan Negara Menyebar ke Masyarakat.
Berbeda dengan berbagai pihak yang menyatakan bahwa otoritas otoriter atau opresif sadar akan aktivitas mereka, Rieke secara eksplisit menyatakan bahwa kebijakan tersebut dilaksanakan karena mereka tidak menyadari potensi penyalahgunaannya.
Kesimpulan ini dicapai sebagai hasil dari penerapan Rieke terhadap tesis Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan.
Politisi PDIP ini menggunakan Adolf Eichmann sebagai contoh dalam bukunya. Komandan militer Nazi yang melakukan Holocaust tidak menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan. Menurut Eichmann, dia tidak melakukan apa-apa selain melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.
Yang lebih menjengkelkan, menurut Rieke, adalah mengapa kebrutalan dan represi negara terus berulang, karena mereka diterima oleh masyarakat dan pembuat kebijakan. Akibatnya, tindakan opresif saat ini jarang dilihat secara kritis, karena dianggap biasa atau sering terjadi.
Selain itu, Rieke menekankan karakter hukum yang melekat, yang memungkinkan penguasa untuk menindas. Seperti yang sering dipahami, hukum bersifat memaksa. Akibatnya, penguasa seringkali memanfaatkan hukum hanya untuk mengontrol masyarakat. Nonet dan Selznick sama-sama mengacu pada topik ini.
Apakah bisa dibayangkan, mengingat banalitas kejahatan, bahwa pihak berwenang yang mencari pencipta mural tidak akan keberatan dengan undang-undang yang tidak sesuai, percaya bahwa itu memenuhi tugas mereka untuk menjaga ketertiban?
Lebih buruk lagi, bagaimana jika ada pelumrahan? Bagaimana jika pihak berwenang berperilaku seperti ini karena mereka percaya bahwa taktik opresif adalah rutinitas? Ini tidak diragukan lagi merupakan sumber kekhawatiran bagi kita semua.
Menurut teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, hukum harus memiliki tiga komponen agar dapat berfungsi dengan baik: isi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Persoalannya adalah bagaimana kepastian hukum bisa eksis dengan adanya budaya hukum yang menoleransi perbuatan yang melanggar norma hukum yang tidak sesuai.
Jadi, apapun yang terjadi, apakah ada tendensi represif atau tidak. Yang jelas, seperti yang dikatakan Naguib Mahfouz, seni adalah kritik sosial. Akan lebih tepat untuk menganggap mural yang ada sebagai vitamin kritik untuk kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H