Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Apa dengan Mural?

30 Agustus 2021   13:19 Diperbarui: 30 Agustus 2021   14:24 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.gettyimages.com

Gegernya mural beberapa waktu ke belakang telah memicu perdebatan publik. Seperti diketahui, pihak berwenang telah menghancurkan mural yang mengekspresikan kritik sosial di berbagai lokasi. Khususnya, mural di Tangerang yang menggambarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tulisan "404: Not Found" telah dihancurkan, dan senimannya sedang dicari.

Seperti yang sudah bisa ditebak, masalah ini telah menimbulkan berbagai tanggapan, yang sebagian besar meragukan urgensi pencarian muralis itu. Masalah semakin rumit ketika motif pihak berwenang untuk mencari seorang muralis dianggap tidak tepat. Menurut laporan, ada tuduhan tidak menghormati Presiden sebagai simbol atau lambang negara.

Padahal menurut UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang termasuk lambing negara adalah bendera merah putih, bahasa Indonesia, Burung Garuda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan lagu nasional Indonesia Raya. Tidak ada presiden sebagai symbol negara.

Hal yang sama juga dilakukan Rektorat Universitas Indonesia (UI) dengan melakukan kesalahan serupa saat memanggil Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI untuk membahas unggahan "Jokowi The King of Lip Service".

Menariknya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, Mahkamah Konstitusi telah mencabut ketentuan KUHP yang mengklasifikasikan penghinaan terhadap Presiden sebagai kejahatan biasa. Akibatnya, pihak berwenang harus diizinkan untuk bertindak semata-mata sebagai tanggapan atas pengaduan, daripada memulai pengejaran pelaku.

Ini menjadi masalah tersendiri, khususnya di kalangan pemerhati hukum. Mengapa pihak berwenang tidak merespons sesuai dengan mekanisme hukum yang ditetapkan? Selain itu, apakah ini menyiratkan penggunaan hukum yang menindas?

Bayangan Hukum Represif?

Di tengah krisis akibat wabah Covid-19, banyak di antara kita yang memperhatikan bahwa gestur pemerintah bernada represif. Mulai dari pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan (prokes) hingga pengerahan ratusan polisi untuk memberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM).

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku mereka Responsive Law, sistem represif semacam itu tidak bisa begitu saja disalahkan karena menindas masyarakat.

Ketika pemegang otoritas menghadapi kesulitan, mereka sering menggunakan metode yang menindas karena mereka tidak melihat cara lain untuk melaksanakan tugas mereka.

Latar belakang ini terlihat dalam kebijakan vaksinasi Covid-19, misalnya. Terlepas dari kritik luas bahwa ada unsur "pemaksaan", mekanisme represif semacam itu diperlukan untuk mencapai tujuan vaksinasi.

Masalahnya adalah, seperti yang ditunjukkan oleh Nonet dan Selznick, keadaan darurat seperti sekarang ini sangat rentan untuk dimanipulasi oleh otoritas menjadi menindas. Ini bukan teknik pemaksaan yang dirancang untuk memajukan kebaikan yang lebih besar (kebaikan bersama), melainkan akibat ketidakmampuan kekuasaan untuk mempertahankan kesetiaan rakyat dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Situasi ini disebut sebagai "kemiskinan kekuasaan" atau "kekuasaan yang buruk" secara spesifik. Keadaan ini ditandai dengan hilangnya kepercayaan publik dan perselisihan internal di dalam tubuh kekuasaan.

Berbagai lembaga survei menunjukkan penurunan kepercayaan rakyat. Sebagai contoh, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melaporkan pada bulan Juli bahwa kepercayaan terhadap Presiden telah menurun dari 56,5 persen menjadi 43%.

Dari sisi pertikaian internal, kubu Presiden Jokowi tampaknya juga mulai mencari proyeksi baru untuk mengantisipasi kapal yang akan segera berlabuh.

Kembali ke argumen Nonet dan Selznick, represi akan muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan kekuasaan untuk memenuhi harapan masyarakat. Oleh karena itu, bukankah mural yang dihapus itu kritik terhadap situasi epidemi?

Sebuah mural di Pasuruan mengatakan, "Dipaksa Sehat di Negeri Sakit". Sementara itu, sebuah mural di Tangerang bertuliskan "Tuhan, Aku Lapar" dan "Jokowi 404: Not Found." Bagaimanapun por-kontra yang mencuat, mural-mural ini menggambarkan keadaan ekonomi saat ini. Kebijakan PPKM Darurat ini sangat merugikan masyarakat menengah ke bawah, terutama yang menggantungkan hidup pada pendapatan sehari-hari.

Selain itu, banyak pihak mempertanyakan mengapa Undang-Undang Karantina Kesehatan tidak digunakan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada tuduhan bahwa undang-undang tersebut tidak diterapkan untuk membebaskan negara dari kewajibannya untuk "memberi makan" kepada rakyat.

Bisa dibayangkan bahwa perkiraan itu salah, tetapi itu tidak relevan. Argumennya adalah bahwa ada kecurigaan luas terhadap otoritas. Ini, tentu saja, berasal dari ketidakpuasan terhap penanganan pandemi.

Jika kemiskinan kekuasaan terjadi dan otoritas mulai menindas, ini mungkin menjelaskan mengapa otoritas menggunakan undang-undang yang tidak efektif untuk melacak seniman lukisan "Jokowi 404: Not Found".

Banalitas Kejahatan

Ketika kita melangkah lebih jauh, kita menemukan sesuatu yang lebih berbahaya daripada prospek negara represif yakni ketidaksadaran kekuasaan. Rieke Diah Pitaloka menekankan gagasan ini dalam bukunya Kekerasan Negara Menyebar ke Masyarakat.

Berbeda dengan berbagai pihak yang menyatakan bahwa otoritas otoriter atau opresif sadar akan aktivitas mereka, Rieke secara eksplisit menyatakan bahwa kebijakan tersebut dilaksanakan karena mereka tidak menyadari potensi penyalahgunaannya.

Kesimpulan ini dicapai sebagai hasil dari penerapan Rieke terhadap tesis Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan.

Politisi PDIP ini menggunakan Adolf Eichmann sebagai contoh dalam bukunya. Komandan militer Nazi yang melakukan Holocaust tidak menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan. Menurut Eichmann, dia tidak melakukan apa-apa selain melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.

Yang lebih menjengkelkan, menurut Rieke, adalah mengapa kebrutalan dan represi negara terus berulang, karena mereka diterima oleh masyarakat dan pembuat kebijakan. Akibatnya, tindakan opresif saat ini jarang dilihat secara kritis, karena dianggap biasa atau sering terjadi.

Selain itu, Rieke menekankan karakter hukum yang melekat, yang memungkinkan penguasa untuk menindas. Seperti yang sering dipahami, hukum bersifat memaksa. Akibatnya, penguasa seringkali memanfaatkan hukum hanya untuk mengontrol masyarakat. Nonet dan Selznick sama-sama mengacu pada topik ini.

Apakah bisa dibayangkan, mengingat banalitas kejahatan, bahwa pihak berwenang yang mencari pencipta mural tidak akan keberatan dengan undang-undang yang tidak sesuai, percaya bahwa itu memenuhi tugas mereka untuk menjaga ketertiban?

Lebih buruk lagi, bagaimana jika ada pelumrahan? Bagaimana jika pihak berwenang berperilaku seperti ini karena mereka percaya bahwa taktik opresif adalah rutinitas? Ini tidak diragukan lagi merupakan sumber kekhawatiran bagi kita semua.

Menurut teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, hukum harus memiliki tiga komponen agar dapat berfungsi dengan baik: isi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Persoalannya adalah bagaimana kepastian hukum bisa eksis dengan adanya budaya hukum yang menoleransi perbuatan yang melanggar norma hukum yang tidak sesuai.

Jadi, apapun yang terjadi, apakah ada tendensi represif atau tidak. Yang jelas, seperti yang dikatakan Naguib Mahfouz, seni adalah kritik sosial. Akan lebih tepat untuk menganggap mural yang ada sebagai vitamin kritik untuk kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun