Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menilik Konflik Pemerintah vs Isme-Isme di Indonesia

14 Agustus 2021   17:25 Diperbarui: 14 Agustus 2021   17:30 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: gettyimages.com

Radikalisme, anarko-sindikalisme, komunisme, liberalisme dan masih banyak isme yang lainnya lagi. Rasanya dalam beberapa waktu terakhir banyak ragam ideolgi dan paham yang menjadi bahan pembicaraan. Secara khusus beberapa paham tersebut tampak dijadikan semacam "musuh" bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo selama dua periode ini.

Tentu yang paling kentara adalah bagaimana pemerintahan ini kerap terlihat melawan paham-paham berbau fundamentalisme Islam. Cap radikal dan terorisme acapkali jadi salah satu paham yang ingin dibendung di era Jokowi. 

Diluar itu ada banyak isme-isme lain dari pejabat atau aparat pemerintah Presiden Jokowi. Spektrumnya sendiri cukup luas dari yang tergolong kiri hingga yang dianggap kanan. 

Lagi-lagi, paham tersebut kerap terlihat seperti lawan bagi pemerintah. Meski bisa dikaitkan dengan upaya pemerintah yang tergolong rajin mengampanyekan Pancasila, bagi beberapa orang, mungkin label isme-isme itu tampak terlalu sering dilempar dan terutama dibenturkan dengan pemerintah. 

Jika demikian, lalu paham siapa sebenarnya yang jadi musuh pemerintahan Jokowi?

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat sepertinya harus belajar ilmu politik, filsafat, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Bukannya tanpa alasan, ada banyak paham dan isme yang jadi lebel suatu kubu terutama yang terlibat jadi oposisi pemerintah. 

Tentu, kita sudah cukup paham kalau pemerintah tergolong rajin untuk meredam paham Islam radikal. Di satu sisi, hal ini cukup rasional seiring rentetan aksi terorisme yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. 

Sementara di sisi yang lain paham itu sendiri boleh jadi sering muncul sebagai cap kepada oposisi atau pengkritik pemerintah yang memiliki pemahaman Islam yang cenderung lebih fundamentalis. Dari kampus hingga aparatur sipil negara misalnya jadi target pemerintah dalam penyisiran isu radikalisme ini.

Meski, pemerintah tak pernah memakai label ini, isu soal polisi Taliban di KPK yang didengungkan oleh beberapa kelompok misalnya, juga bisa dikaitkan dengan hal ini. Selain itu, masyarakat juga mungkin masih ingat bagaimana aparat negara mengenalkan isme baru, yaitu anarko-sindikalisme. 

Paham ini sempat terlihat seperti menjadi musuh ketika terjadi rangkaian demonstrasi mulai dari peringatan Hari Buruh hingga saat pembahasan RUU KUHP dan revisi UU KPK.

Kemudian, berbicara soal RKUHP, belakangan muncul paham lain yang dipertentangkan dengan kebijakan kontroversial pemerintah. Seperti dikutip dari beberapa media, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, tak ingin negeri ini jadi terlalu liberal saat memasukkan pasal penghinaan Presiden ke dalam rencana revisi UU itu. 

Lantas liberisme juga musuh pemerintah?

Bagaimana dengan isme yang lain, yaitu komunisme? Paham yang satu ini sudah kadung jadi isu kampanye politik dan musuh pemerintah, seperti ketika Presiden Joko Widodo menyebut ingin "menggebuk" komunisme.

Meski di satu sisi ada kampanye terhadap Pancasila yang tentu saja sangat positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, banyak pihak merasa terlalu banyak momen ketika Pancasila dipertentangkan dengan label isme lain. Pemerintahan presiden Jokowi dan para pendengungnya seolah tengah menciptakan semacam "musuh" untuk dilawan. 

Istilahnya, enemy of the state. Konsep ini pernah diungkapkan misalnya oleh Jurgen Seifert dalam tulisannya Defining the Enemy of the State Political Policies of West Germany saat membahas kebijakan politik Jerman Barat tempo dulu. Ia menyebutkan bahwa dalam penentuan musuh dan teman negara, faktor politik domestik dan internasional jadi lebih penting ketimbang faktor sosial ekonomi. 

Lalu, ia juga menyebut kalau musuh sebagai pihak yang mempertanyakan struktur politik dan sosial masyarakat, maka kemudian pihak yang dapat dilabeli musuh negara bisa sangat fleksibel. Hal itu terjadi di Jerman Barat dimana terdapat redefinisi musuh seiring dengan pergantian pemerintahan. 

Konteks struktur politik yang disebut Seifert menjadi hal yang menarik. Pasalnya, dalam kadar tertentu muncul unsur yang mempertanyakan struktur politik ini dapat disetarakan sebagai "kritis". Hal ini tergambar misalnya saat Donald Trump memberikan label Enemy of the People kepada media, ketika ia menjabat sebagai presiden Amerika. 

Istilah itu ia gunakan untuk mengecap media dan jurnalis yang kritis kepadanya.

Sejauh ini, pemerintahan presiden Jokowi memang tak pernah memberi label resmi musuh negara kepada ragam isme yang mereka sebutkan, meski demikian tampak bahwa selalu ada isme yang dipertentangkan dengan pemerintah ketika mereka dikritik. 

Hal itu mungkin membuat orang merasa bahwa label ideologi itu berlaku kepada pihak yang kritis kepada pemerintah. Kondisi ini bisa saja dianggap serupa dengan Trump yang media yang mengkritiknya sebagai enemy of the people.

Anggapan semacam itu diungkapkan misalnya oleh Kate Grealy dari Australian National University. Ia menyoroti bagaimana label "radikal" mengalami politisasi. Dalam tulisannya di New Mandala dengan tajuk Politicising the label radical?, 

Ia menyebut bahwa radikal dan islamis kerap digunakan untuk mendiskreditkan lawan politik. Tren tersebut ia gambarkan berjalan beriringan dengan narasi bahwa Pancasila amat suci dan harus dilindungi dengan berbagai cara, termasuk dengan cara yang tidak demokratis sekalipun.

Secara khusus, Grealy kemudian menjelaskan bagaimana beragam paham yang disebut diatas digunakan pemerintah sebagai pihak yang menutupi serangkaian demonstrasi besar di tahun 2019. Demonstrasi yang dimotori mahasiswa itu disebut-sebut misalnya sudah disusupi oleh kelompok radikal. Selain itu, isu anarko juga cukup mengena di masyarakat sejak peristiwa tersebut terjadi.

Hal-hal tersebut boleh jadi adalah gambaran bagaimana aparat pemerintahan termasuk pendukung Jokowi, kerap memberi label ideologi tertentu kepada pihak yang kritis. Atau "kamu radikal", "kamu liberal", dan lain-lainnya. Dengan demikian, jika ditanya isme mana yang menjadi musuh pemerintahan Jokowi, sepertinya sulit untuk mencari jawabannya. 

Tentu, yang jelas dari uraian tersebut, boleh jadi publik akan merasa bahwa label ancaman atau sejenisnya itu akan berlaku pada mereka yang kritis.

Lalu, bagaimana menurut kalian. Benarkah ada konteks isme-isme pada mereka-mereka yang kritis terhadap pemerintah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun