Sejak 2017, Front Pembela Islam (FPI) menjadi ormas yang berpengaruh. Tidak tanggung-tanggung FPI bahkan bisa mengerahkan masyarakat untuk menggulingkan Ahok dan mendukung Prabowo-Sandi. Tapi FPI tidak memiliki pengaruh politik yang begitu besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Mungkin FPI hanya menjadi "tim hore" saja.
Pada pemilihan presiden 2014, dukungannya kepada Prabowo Subianto menandai dimulainya Front Pembela Islam (FPI) terjun ke politik praktis. Sejak itu, dalam peristiwa politik, FPI semakin terlihat. Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok patut berterima kasih kepada FPI atas popularitasnya saat ini. Ya, meskipun itu tidak memungkinkan.
Seperti kita ketahui, kasus Ahok membawa Habib Rizieq Shihab (HRS), FPI dan Imam Besarnya, ke puncak perdebatan politik nasional. Tanpa kesalahan Ahok, FPI hanya bisa disebut sebagai organisasi yang sering sweeping di bulan puasa dan hari raya natal.
Ketika Ahok digulingkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, HRS dan FPI secara mengejutkan dan luar biasa mampu menggerakkan massa. Telah terjadi gelombang demonstrasi berturut-turut dalam sejarah. FPI berkali-kali berhasil memutihkan Monas.
Anehnya, setelah Anies Baswedan menang di Pilgub DKI Jakarta 2017, FPI justru tak mampu memengaruhi laju pemerintah secara signifikan. Masih dengan Pilpres 2019. Mereka tampil sebagai "tim hore" untuk mendukung dan mendorong pemilu saja.
Jika dibandingkan dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, FPI jelas jauh tertinggal. Bagaimana bisa? Kontras terlihat dimana NU dan Muhammadiyah bahkan mempengaruhi laju penentuan pemerintah.
Sebut saja soal beberapa pos kementerian yang disebut-sebut menjadi kuota untuk keduanya. Jika NU dianggap erat hubungannya dengan Menag, maka Muhammadiyah sering dikaitkan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Selain jabatan kementerian, kedua ormas yang akan bersaing dalam pemilihan presiden itu bahkan dinilai punya pengaruh.
Pertanyaannya, mengapa FPI tidak memiliki pengaruh politik seperti NU dan Muhammadiyah, dengan kapasitasnya yang mampu memobilisasi massa?
Borjuasi tidak mendukung FPI?
Vedi R. Hadiz memberikan penjelasan yang penting dan menarik untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam bukunya The Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (2016). Hadiz menawarkan berbagai faktor yang membedakan mengapa gerakan populisme Islam di Indonesia tidak sesukses di Turki.
Pertama, di Indonesia dan Turki, basis massa populisme Islam berbeda. Di Turki gerakan populisme Islam di Indonesia didominasi oleh pekerja kerah biru, yaitu kelas menengah ke bawah.
Kedua, bertolak belakang dengan sejarah populisme Islam di Turki yang berasal dari kaum borjuis anti barat dan otokratis, sebaliknya populisme Islam di Indonesia diawali dengan perlawanan etnis Tionghoa karena tatanan sosial kolonial dianggap diuntungkan.
Disini Hadiz melihat berlanjutnya reproduksi sejarah perlawanan terhadap dominasi etnis Tionghoa oleh gerakan populisme Islam Indonesia. Masalahnya, borjuasi besar Indonesia didominasi oleh etnis Tionghoa. Alhasil, gerakan populis Islam tidak akan mendapatkan kekuatan modal dengan perlawanan yang masih melekat.
Sementara di Turki, konsolidasi kekuatan borjuasi berhasil dalam menyingkirkan borjuasi besar "asing" sehingga menciptakan peluang yang lebih besar untuk membangun jembatan antara pemilik modal yang secara kultural Muslim dan masyarakat pada umumnya, termasuk kelas menengah. Akibatnya, aliansi populis Islam yang terbentuk di Turki jauh lebih kuat dari Indonesia.
Ketiga, Turki memiliki pengalaman sejarah yang tidak dimiliki di Indonesia. Turki memiliki sejarah emas Kesultanan Utsmaniyah yang pernah membuatnya merasakan kekuatan Islam dalam melawan kekuatan Eropa.
Dalam pandangan Hadiz, gerakan populis Islam di Turki memiliki nafas yang sama dengan struktur politik yang ada. Begitu pula dengan upaya meruntuhkan sekularisasi pasca jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah, kekuasaan khalifah dibenarkan secara ideologis.
Hubungan populisme Islam dan negara tampak kontradiktif di Indonesia selama ini. Itu karena Indonesia tidak punya pengalaman melawan kolonialisme sebagai Negara Islam seperti Turki, kata Hadiz.
Meskipun terdapat narasi tentang pembentukan negara Islam sejak awal kemerdekaan Indonesia, narasi ini kurang memiliki legitimasi budaya atau warisan sejarah karena tidak adanya pengalaman konkret.
Singkatnya, Hadiz dapat menyebutkan dua faktor penting yang tidak membawa kesuksesan bagi gerakan populis Islam di Indonesia seperti yang terjadi di Turki: kurangnya warisan sejarah dan kegagalan bekerjasama dengan kaum borjuis besar seperti di Turki.
Berkenaan dengan yang kedua, tulisan smail Doa Karatepe dalam Islamists, Bourgeoisie and Economic Policies in Turkey (2013), memberikan penegasan. Meskipun tidak ada indikasi kuat bahwa pemerintahan Turki saat ini (AKP) memberikan karpet merah kepada borjuasi besar, pemerintahan AKP telah berhasil mencapai keseimbangan antara berbagai kepentingan kelompok borjuis.
Korban Politik Soeharto?
Dalam konteks FPI, faktor-faktor yang disebutkan Hadiz nampaknya terlihat. Pertama, mereka yang tergabung dalam FPI kebanyakan adalah pekerja kerah biru (kelas menengah). Kedua, meski tokoh-tokoh FPI seperti HRS kerap mengadvokasi nilai-nilai Pancasila dan Islam, ketiadaan warisan sejarah membuat narasi ini mudah dikritik dan disanggah oleh mereka yang tidak sependapat.
Ketiga, yang terpenting, FPI tampaknya tidak memiliki hubungan baik dengan kaum borjuis. Sebagaimana diketahui, alih-alih menjalin relasi, FPI kerap melakukan sweeping yang kerap membuat marah pemilik usaha yang merupakan para borjuis.
Kemudian, konteks perlawanan terhadap etnis Tionghoa, khususnya China, juga terlihat jelas di FPI. Dalam berbagai kesempatan, HRS kerap mengkritisi dominasi bisnis Tionghoa di Indonesia. Hal ini juga terkait erat dengan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap musuh Islam dan memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis di China (RRC).
Melihat sejarahnya, selain dari fakta bahwa etnis Tionghoa telah diuntungkan sejak zaman kolonial, faktor yang memperdalam permusuhan juga datang dari politik hitam-putih Suharto. Pada rezim Orde Baru, Soeharto sering memainkan politik hitam putih sebagai strategi pengelolaan masalah.
Di awal kepemimpinannya, politik PKI vs non-PKI dimainkan. Terlepas dari perdebatan apakah PKI menjadi korban atau pelaku, politik hitam putih ini membuat Soeharto berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan.
Lalu, isu militer vs sipil, yang menjadi sentimen minor bagi dwifungsi ABRI hingga saat ini. Kemudian, konglomerasi yang dilakukan Soeharto terhadap berbagai pengusaha Tionghoa menambah kecemburuan yang ada.
Michael T. Rock dalam tulisannya The Politics of Development Policy and Development Policy Reform in New Order Indonesia (2003), menjelaskan bahwa kegagalan Soeharto menciptakan konglomerat pribumi telah membuat pemerintah Orde Baru beralih mendukung pengusaha Tionghoa - seperti Soedono Salim (Salim Group), William Soeryadjaya (Astra), Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group), dan sebagainya.
Dukungan ini dilakukan dengan memberikan proteksi tarif, memberikan akses preferensial terhadap izin usaha dan kontrak pemerintah yang memberikan keuntungan besar, kredit bersubsidi dari bank-bank BUMN, serta pembebasan dan pengurangan pajak.
Namun, pemerintah Soeharto tidak hanya memberikan keistimewaan tersebut kepada pengusaha Tionghoa. Ayako Masuhara dalam bukunya The End of Personal Rule in Indonesia menjelaskan bahwa pengusaha muda pribumi seperti Aburizal Bakrie (Bakrie & Brothers), Jusuf Kalla (Grup Haji Kalla), dan Fadel Muhammad (Grup Batara) - yang dikenal sebagai Ginandjar's Boys - bisa berkembang pesat sebagai hasil dari manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari proyek Keputusan Presiden (Keppres) 10 di bawah Soedharmono dan Ginandjar Kartasasmita.
Meski Keppres 10 berupaya untuk mendirikan konglomerat pribumi, Soeharto dipandang memiliki keuntungan politik karena masalah pribumi vs. non pribumi, yakni etnis Tionghoa, sudah menyebar.
Konteks ini tampaknya sejalan dengan temuan Hadiz. Ia mengakui memang ada upaya untuk mensekulerkan kebangkitan gerakan populisme Islam di bawah rezim Orde Baru. Dengan narasi Hitam-Putih seperti itu, jelas membantu melemahkan konsolidasi kelompok-kelompok Islam karena mereka tidak berkonsentrasi dalam memperjuangkan isu-isu kunci.
Jika FPI terjebak dalam narasi pribumi versus pribumi, NU dan Muhammadiyah sepertinya tidak. Terlebih lagi, dua ormas Islam terbesar di Indonesia, seperti pemerintahan AKP, tampaknya telah menemukan keseimbangan di Turki untuk bisa berperan dalam pemerintahan.
Sudah sejak lama NU dan Muhammadiyah mampu mengubah kekuatan sosialnya untuk mengembangkan kerjasama ekonomi. Hasilnya? Lihat saja berbagai universitas dan rumah sakit Muhammadiyah. Akar pengaruh NU juga ada dalam perkembangan pesantren dan organisasi kepemudaan yang menggelora.
Jadi apakah FPI sama berpengaruhnya seperti NU dan Muhammadiyah jika memiliki hubungan dengan borjuasi besar? Heem, menarik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H