Kedua, bertolak belakang dengan sejarah populisme Islam di Turki yang berasal dari kaum borjuis anti barat dan otokratis, sebaliknya populisme Islam di Indonesia diawali dengan perlawanan etnis Tionghoa karena tatanan sosial kolonial dianggap diuntungkan.
Disini Hadiz melihat berlanjutnya reproduksi sejarah perlawanan terhadap dominasi etnis Tionghoa oleh gerakan populisme Islam Indonesia. Masalahnya, borjuasi besar Indonesia didominasi oleh etnis Tionghoa. Alhasil, gerakan populis Islam tidak akan mendapatkan kekuatan modal dengan perlawanan yang masih melekat.
Sementara di Turki, konsolidasi kekuatan borjuasi berhasil dalam menyingkirkan borjuasi besar "asing" sehingga menciptakan peluang yang lebih besar untuk membangun jembatan antara pemilik modal yang secara kultural Muslim dan masyarakat pada umumnya, termasuk kelas menengah. Akibatnya, aliansi populis Islam yang terbentuk di Turki jauh lebih kuat dari Indonesia.
Ketiga, Turki memiliki pengalaman sejarah yang tidak dimiliki di Indonesia. Turki memiliki sejarah emas Kesultanan Utsmaniyah yang pernah membuatnya merasakan kekuatan Islam dalam melawan kekuatan Eropa.
Dalam pandangan Hadiz, gerakan populis Islam di Turki memiliki nafas yang sama dengan struktur politik yang ada. Begitu pula dengan upaya meruntuhkan sekularisasi pasca jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah, kekuasaan khalifah dibenarkan secara ideologis.
Hubungan populisme Islam dan negara tampak kontradiktif di Indonesia selama ini. Itu karena Indonesia tidak punya pengalaman melawan kolonialisme sebagai Negara Islam seperti Turki, kata Hadiz.
Meskipun terdapat narasi tentang pembentukan negara Islam sejak awal kemerdekaan Indonesia, narasi ini kurang memiliki legitimasi budaya atau warisan sejarah karena tidak adanya pengalaman konkret.
Singkatnya, Hadiz dapat menyebutkan dua faktor penting yang tidak membawa kesuksesan bagi gerakan populis Islam di Indonesia seperti yang terjadi di Turki: kurangnya warisan sejarah dan kegagalan bekerjasama dengan kaum borjuis besar seperti di Turki.
Berkenaan dengan yang kedua, tulisan smail Doa Karatepe dalam Islamists, Bourgeoisie and Economic Policies in Turkey (2013), memberikan penegasan. Meskipun tidak ada indikasi kuat bahwa pemerintahan Turki saat ini (AKP) memberikan karpet merah kepada borjuasi besar, pemerintahan AKP telah berhasil mencapai keseimbangan antara berbagai kepentingan kelompok borjuis.
Korban Politik Soeharto?
Dalam konteks FPI, faktor-faktor yang disebutkan Hadiz nampaknya terlihat. Pertama, mereka yang tergabung dalam FPI kebanyakan adalah pekerja kerah biru (kelas menengah). Kedua, meski tokoh-tokoh FPI seperti HRS kerap mengadvokasi nilai-nilai Pancasila dan Islam, ketiadaan warisan sejarah membuat narasi ini mudah dikritik dan disanggah oleh mereka yang tidak sependapat.