Mungkin ada dari kita yang berpikir bahwa sistem pendidikan di Indonesia itu tidak tepat sasaran. Buktinya, orang-orang ketika lulus SMA ditanya soal pelajaran yang dipelajari sejak SD sampai dengan SMA lupa, atau bilang bahwa pelajaran yang dipelajari tidak terpakai hingga kini.
Atau bahkan, ya, tidak penting-penting amat, karena tidak bisa diaplikasikan secara langsung. Misalnya, kita banyak belajar biologi, fisika, kimia, geografi tetapi ilmunya jarang atau bahkan tidak dipakai sampai saat ini.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan fakta bahwa kebanyakan orang bisa belajar banyak hal dan itu penting yang justru bukan dari sekolah, tetapi dari kehidupan lapangan atau lingkungan masyarakat.
Dengan demikian, pertanyaan yang wajib diajukan kenapa kita tidak pernah diajarkan ilmu yang penting dan itu pasti digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti manajemen konflik, cara mengatur keuangan, pendidikan media sosial, literasi digital, manajemen emosi, hingga manajemen diri. Kesemua itu terbukti dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan memang sangat penting sekali.
Nyatanya, kurikulum yang dipelajari di sekolah memang itu-itu saja, apa yang kita pelajari sebetulnya adalah apa yang orangtua kita pelajari oleh orangtua kita dulu, padahal zaman berubah, perubahan sosial terjadi.
Perubahan sosial juga memberikan kemudahan pembelajaran, melalui teknologi kita bisa belajar banyak hal dari Youtube, dan Google. Jadi tidak perlu datang ke sekolah, alias belajar di rumah.
Tapi apalah daya, waktu selama 15 belas tahun, dari SD sampai SMA kita habiskan untuk belajar ke sekolah. Bayangkan selama waktu sebegitu lama, kita belajar dari pukul 7 sampai pukul 3 belajar di sekolah demi memperoleh nilai yang tinggi tapi aplikasi ilmunya untuk apa.
Apalagi uang yang dipakai, mungkin sudah berapa banyak uang yang kita habiskan. Uang jajan, uang bulanan transportasi, ini itu, dan lain sebagainya.
Problem Bangsa
Patut diakui bahwa bangsa kita mempunyai segudang masalah. Masalah tentang korupsi, kriminalitas, konflik horizontal antar agama, antar etnis, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jadi, mungkin saja hal tersebut terjadi karena adanya sistem pendidikan yang tidak tepat, karena solusi dan akar masalah tersebut tidak diajarkan di sekolah-sekolah.Â
Sedikit sekali pelajaran tentang rumah tangga, tentang mengelola keuangan agar tidak korupsi, jadi sangat wajar jika ada pejabat yang korupsi karena tidak bisa mengelola duit.
Sedikit sekali diajarkan mengelola emosi, kecuali hanya di ruang BK, dan itupun kalo nakal dan menunggu dipanggil. Akibatnya konflik terjadi sana-sini, kekerasan, pembunuhan, dan kriminal tiada henti karena mungkin tidak diajarkan di sekolah.
Jadi, sangat penting untuk adanya terobosan baru mengenai hal-hal penting yang harusnya dipelajari dan paradigma tersebut harusnya ada saat ini dalam diri para remaja agar masa depan Indonesia kedepan bisa lebih baik.
Lantas, apa saja kiranya pelajaran yang harusnya dipelajari yang tidak diajarkan di sekolah?
Yang Seharusnya Dipelajari
Pertama, manajemen keuangan. Pelajaran ini penting karena mau tidak mau kita harus belajar mengelola keuangan kita sendiri, harus bisa mengerti dasar-dasar manajemen keuangan, seperti bagaimana cara menabung, investasi, menyiapkan dana pensiun, dan sejenisnya.
Manajemen ini penting juga untuk kehidupan rumah tangga. Kita menyaksikan angka perceraian di tengah pandemi tinggi sekali dan mayoritas disebabkan oleh tata kelola manajemen keuangan yang lemah.
Kedua, sistem kerjasama (relationship). Sebagai makhluk sosial manusia memang sudah fitrahnya membutuhkan manusia lain, jadi penting sekali bagaimana kita menjalin hubungan/kerjasama dengan orang lain dengan baik.
Masalah-masalah seperti perselingkuhan, pengkhianatan, dan masalah lainnya seringkali terjadi dalam hubungan seseorang dengan pasangannya atau sahabat, rekan, hingga keluarganya.
Ketiga, karir. Kebanyakan siswa SMA bingung ketika ditanya apa yang akan mereka lakukan setelah tamat sekolah nanti, apakah kuliah, bekerja, atau lainnya. Getirnya, kebanyakan justru menentukan hal tersebut diakhir-akhir masa sekolah. Efeknya jelas tidak baik bagi kelangsungan karir seseorang.
Padahal jika digali dan diarahkan sejak dini, seseorang akan berfokus pada pencapaian karirnya di masa depan. Yang lebih sederhana saja misalnya dalam penentuan jurusan, siswa kadang bigung ketika akan masuk jurusan IPA, IPS, atau Bahasa. Parahnya, jika tidak sesuai passion-nya, hal tersebut bisa menjerumuskan siswa pada jurang kehancuran dan ketidakjelasan karir.
Prospek karir tentu akan berjalan sesuai bidang apa yang akan ditekuni, keahlian dan potensi apa yang akan menjadi ciri khas kita. Mengapa hal ini penting? Karena siswa saat ini dituntut untuk multitasking, menguasai banyak hal, dan berhasil dalam banyak hal pula. Padahal, karir seseorang ketika dewasa nanti, tidak akan jauh dari apa yang bisa dikuasai dan ia ahli di bidangnya.
Keempat, literasi media dan literasi digital. Di dunia yang banjir informasi seperti sekarang menuntut seseorang untuk wajib berpikir kritis dan logis. Kita tahu, hoaks, disinformasi, dan hasutan kebencian menjadi konsumsi kita sehari-hari di era digital saat ini.
Solusinya, tentu dengan kekuatan pada kritisisme kita dalam menghadapinya. Dengan berpikir kritis dan logis, kita bisa lebih arif memangkas, menerima, dan memproses informasi yang hanya berkualitas dan penting untuk kita konsumsi. Tapi, sayangnya lagi hal ini juga tidak dipelajari di sekolah.
Momentum Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) seperti sekarang ini harusnya menjadi waktu yang tepat oleh para pendidik diluar sana dengan menyisipkan litterasi media kepada siswanya yang sedang belajar melalui gawai dan dunia perdigitalan.
Hal yang paling sederhana adalah dengan mengajarkan bagaimana mengkroscek informasi yang tersebar di media sosial melalui platform media-media arus utama (Tempo, Kompas, CNN, dan sejenisnya) dengan mencari dan membandingkannya. Ini adalah cara sederhana dalam melawan upaya penyebaran hoaks.
Kelima, studi agama-agama. Sebagai umat beragama, mungkin ada dari kita yang masih kebingungan soal sejarah agama yang kita anut. Jangankan sejarah agama orang lain, agama yang kita anut pun tidak tahu.
Ini bahaya karena mungkin saja konflik-konflik horizontal yang terjadi saat ini dan berbasis agama karena lemahnya pemahaman kita terhadap agama kita, sejarah agama kita, dan bagaimana seharusnya menjadi umat beragama.
Dengan mempelajari studi agama-agama, kita menjadi lebih tahu bagaimana agama A, B, dan C, dan kita bisa memetik hikmah dibaliknya serta menjadi lebih santun dalam beragama. Dengan demikian, harmonisasi, toleransi, dan proses menghargai umat beragama tertanam dengan baik dan tidak merasa agama kita lebih superior terhadap agama lain.
Bahkan jika melihat konflik-konflik yang berbasis agama saat ini sangat menyedihkan sekali, agama juga seringkali menjadi alat politik untuk berkuasa dan menguasai orang lain. Padahal, sejatinya relasi agama dan negara di Indonesia ini saling berkoordinasi, atau saling membutuhkan satu sama lain.
Keenam, manajemen diri atau kontrol diri (psikologi). Permasalahan terkait psikologi sangat jarang diterima di dunia sekolahan saat ini, padahal ini sangat penting sekali terutama dalam kesadaran diri dan kontrol diri.
Problem seperti kecanduan rokok, pornografi, tidak mampu mengendalikan emosi, dan sejenisnya harusnya sudah diketahui sejak dini dan sudah dipelajari agar setiap orang mampu memahami dan mempunyai solusi alternatif menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan psikologis seseorang.
Diluar pembahasan masih banyak hal lain yang tidak dimasukkan disini yang bahkan setiap orang mempunyai persepektifnya masing-masing. Namun, penulis tertarik dengan enam poin tadi yang dirasakan sendiri secara langsung.
Namun demikian, optimisme kita harus tetap terjaga, setidaknya melalui kurikulum 2013 yang menguatamakan pendidikan karakter yang mudah-mudahan bisa memberi efek positif bagi sistem pendidikan kita.
Juga perubahan sosial yang berdampak positif bagi kita untuk bisa secara masif menularkan energi-energi positif bagi bangsa melalui platform-platform digital seperti Youtube, blog, dan media sosial dalam menyebar kebaikan khususnya menyebarkan hal-hal yang tidak dipelajari di sekolah dalam uraian di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H