Pada Januari 2017, We Are Social mencatat total populasi pengguna Internet di Indonesia diperkirakan 132,7 juta, termasuk 92 juta media sosial seluler dan 106 juta pengguna Facebook. Platform media sosial telah tertanam dalam berbagai aspek masyarakat Indonesia, termasuk politik, terutama di perkotaan daerah seperti Jakarta di mana penetrasi jauh lebih tinggi daripada rata-rata nasional.Â
Di seluruh dunia, dan tentu saja di Indonesia, perluasan penggunaan media sosial telah memicu harapan dan hype baru tentang partisipasi politik dan keterlibatan masyarakat.
Potensi media sosial untuk politik telah mendorong pernyataan optimis tentang pemberdayaan digital dan pembaruan ruang publik. Pandangan optimis dan, kadang-kadang, utopis ini menggarisbawahi bagaimana platform media sosial meningkatkan pertukaran sipil di antara warga negara, mendorong keterlibatan warga negara, mengubah partisipasi politik, dan memfasilitasi jurnalisme warga yang mempromosikan transparansi.
Benarkah Utopis?
Para kritikus sama-sama sigap membantah pandangan utopis ini dengan menunjuk sisi gelap dari penggunaan media sosial seperti pengawasan negara dan pasar, hilangnya privasi, penurunan kualitas informasi, menjamurnya ketidakbenaran (hoaks), dan kebangkitan kelompok radikal online.
Fenomena terakhir yakni menjamurnya hoaks diperkuat oleh peristiwa Brexit di Inggris Raya dan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2016
Dalam kedua pandangan ini, platform media sosial dianggap sebagai aktor utama, yang memiliki agensi dalam membentuk politik. Â Dalam keduanya, media sosial "foregrounded, sementara peran kategori komunikatif lainnya, termasuk sejarah, orang, [dan] budaya, tidak ditekankan dan dilatar belakangi".
Pandangan ini meratakan hubungan yang kompleks dan dinamis antara platform media sosial dan pengguna.Â
Dampak sosial dari Internet dan media sosial, sebaliknya, "harus dipahami sebagai hasil dari interaksi organik antara teknologi dan struktur serta hubungan sosial, politik, dan budaya".
Sejalan dengan pandangan utopis yang saya uraikan di atas, sampai baru-baru ini, di Indonesia juga, ada antusiasme dan bahkan keyakinan dalam efek demokratis dari media sosial, seperti yang dicontohkan dalam kutipan di bawah ini.
Dalam ruang media sosial, orang hanya menghargai faktual. Â informasi [...] Pengguna media sosial tidak mudah dikemudikan, mereka bertindak berdasarkan disposisi dan kesadaran mereka sendiri [...]
Media sosial yang didorong politik dapat menjadi politik yang benar, yaitu politik yang didasarkan pada gagasan dan tindakan nyata untuk kebaikan publik [...]
Media sosial dapat menjadi solusi untuk meminimalkan ketidakadilan. Â Media sosial dapat berfungsi sebagai penyeimbang dari media arus utama yang saat ini tidak independen atau pro-keadilan.
Jika peran media sosial utopis, tampaknya sejarah di bawah ini menunjukkan bukti pengaruh media sosial dalam dunia politik di Indonesia.
Sejarah Singkat
Internet telah digunakan oleh berbagai kepentingan untuk mengekspresikan ide-ide pengguna, termasuk yang tidak demokratis. Pernyataan di atas adalah perpanjangan dari kepercayaan aktivis Indonesia era pendahulunya, statis, non-internet interaktif, atau era web 1.0.Â
Media digital telah dimasukkan ke dalam lanskap politik di Indonesia sejak awal 1990-an dengan munculnya milis politik yang akhirnya menjadi salah satu sumber perlawanan terhadap Suharto dan rezim Orde Baru.Â
Jatuhnya Soeharto pada Mei 1998 dapat diklaim sebagai revolusi informasi, karena perlawanan sebagian besar didorong oleh aliran informasi kontroversial yang cepat yang sebelumnya tidak tersedia.
Namun, internet bukan satu-satunya sumber informasi untuk mobilisasi sosial yang mengarah pada jatuhnya Suharto.
Penelitian Merlyna Lim yang berjudul The Internet, Social Networks, and Reform in Indonesia, In Contesting Media Power: Alternative Media in a Networked World (2003), mengungkap bahwa, alih-alih internet sebagai media utama, tetapi hal ini adalah hubungan antara internet dan media lainnya.
Media-jaringan sosial lama dan baru, kecil dan besar online--dan offline, yang memungkinkan informasi "radikal" menyebar di luar elit digital dan menjangkau masyarakat luas.
Internet sudah divalidasi sebagai teknologi kebebasan ketika tiba di Indonesia pada awal 1990-an. Onno Purbo, termasuk bapak internet Indonesia, dalam sebuah Duta Wacana di Cristian University, Yogyakarta: "perkembangan internet adalah proses yang sangat akar rumput, demokratis".
Yang lebih menarik daripada validitas pernyataan Purbo adalah keyakinan pelaku pengembangan internet, para aktivis, dan pengguna dalam kekuatan internet untuk memberikan masyarakat yang lebih baik. Kepercayaan luas ini telah membentuk bagaimana teknologi, termasuk media sosial, digunakan dalam politik domestik.
Menurut Nyarwi Ahmad, dan Ioan-Lucian Popa, The Social Media Usage and the Transformation of Political Marketing and Campaigning of the Emerging Democracy in Indonesia (2014), pemanfaatan media digital dalam politik pemilu Indonesia dapat ditelusuri kembali ke pemilihan umum pasca-Suharto pertama pada tahun 1999, di mana PK (Partai Keadilan), yang namanya kemudian berganti menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera), menggunakan internet sebagai alat kampanye.Â
Sementara partai-partai lain memiliki satu atau tidak ada situs web, PK, atau partai Islam konservatif, memelihara lebih dari dua lusin situs web yang menargetkan pemilih di berbagai daerah.
Kemudian beranjak dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun 2004 dan 2009, internet umumnya digunakan dalam kampanye pemilihan semua partai. Â Namun, warna berbeda terjadi pada pemilihan gubernur Jakarta tahun 2012 dengan penggunaan platform media sosial yang dimasukkan ke dalam politik pemilu.
Selanjutnya, dua tahun kemudian, dalam pemilihan presiden 2014, sentralitas media sosial dalam kampanye menjadi lebih jelas. Serta pemanfaatan sosial media dalam Pilkada DKI 2017 merupakan perpanjangan dan perluasan dari dua pemilihan sebelumnya.
Tampaknya, Pilpres 2019 menjadi klimaks media sosial sejauh ini dalam politik elektoral melalui kompleksitasnya dalam bingkai pertaruangan dua kubu klasik.
Sementara itu, potensi media sosial untuk aktivisme akar rumput menurut Merlyna Lim, dalam penelitiannya yang berjudul Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia (2013), pertama kali digembar-gemborkan melalui kasus Prita Mulyasari.Â
Prita, seorang ibu dari dua anak, dituntut atas pencemaran nama baik pada tahun 2008 ketika dia mengirim pesan ke teman dan kerabat yang mengeluh tentang layanan di rumah sakit internasional swasta.
Kasusnya menjadi populer secara online ketika halaman Facebook "Coin for Prita" dibuat dan menjadi situs bagi ribuan orang Indonesia untuk berbagi kemarahan mereka dan menyumbangkan uang untuk membayar denda pengadilannya. Pada Desember 2009, pengadilan banding mendapati Prita tidak bersalah.Â
Namun, pengumpulan sumbangan untuknya sangat sukses, dan jauh melebihi denda. Akan tetapi, Cyber Law yang kejam dan hukum pencemaran nama baik yang digunakan untuk melawan Prita tetap ada.Â
Namun demikian, kasus Prita telah menyesatkan menjadi contoh bagi jurnalis, pakar, aktivis, dan politisi Indonesia sebagai bukti dampak positif media sosial dalam politik.Â
Dengan demikian, aktivisme media sosial di Indonesia menghasilkan "banyak klik tetapi hanya sedikit tongkat" dan bahwa kasus aktivisme media sosial yang sukses, seperti kasus Prita, sebagian besar tetap anomaly (penyimpangan).
Sementara aktivis dan komunitas yang terpinggirkan menggunakan media untuk berbagai alasan, media sosial menyediakan lingkungan yang ramah bagi aktivisme yang berkisar pada narasi yang disederhanakan yang dirancang untuk konsumen kelas menengah perkotaan. Â Lanskap ini umumnya tidak menguntungkan untuk narasi kompleks tentang keadilan dan ketidaksetaraan, atau orang miskin.
Penyebab orang miskin sebagian besar dibingkai oleh advokat kelas menengah dan jarang digambarkan oleh orang miskin sendiri. Â Selain itu, platform media sosial tergantung pada sistem media yang lebih besar.
Untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan, aktivisme media sosial memerlukan akomodasi dari "budaya gigitan yang menyusut luar biasa" dari media mainstream.Â
Pemanfaatan media sosial dalam politik tertanam dalam praktik sosial dan budaya sehari-hari kelas menengah perkotaan yang berkisar seputar konsumsi.Â
Oleh karena itu, pemahaman kita tentang dampak dan peran media sosial dalam politik, termasuk dalam politik elektoral seperti situasi Pilkada, harus dikontekstualisasikan dalam munculnya bentuk-bentuk khusus dari partisipasi politik kelas menengah perkotaan.Â
Walhasil, dalam lingkungan ini, praktik komunikasi tidak terlepas dari orientasi konsumsi, dan individu dimobilisasi oleh kerangka kerja komersial, dengan pengaruh dan emosi sebagai mata uang utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H