Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Religiositas di Era Post-Truth

1 Juli 2020   16:53 Diperbarui: 1 Juli 2020   16:56 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contoh pertama, peristiwa penodaan agama oleh Ahok pada 2017 silam misalnya, meskipun Pengadilan Negeri Jakarta Utara menetapkannya sebagai tersangka, namun banyak pihak menyebut bahwa Ahok merupakan korban hoaks post-truth yang disebarluaskan oleh Buni Yani. 

Buktinya, jeratan pidana kepada Buni Yani merupakan bukti bahwa hoaks menyelimuti kasus tersebut. Jelas dampak peristiwa ini membagi kelompok masyarakat dan berujung ujaran kebencian hingga SARA.

Contoh kedua, kasus hoaks pemurtadan umat Islam di Ciranjang, Cianjur, Jawa barat oleh missionaris yang dilancarkan umat Kristiani. Padahal jika dicermati, kasus-kasus ini akan memicu kebencian dan kemarahan Umat Islam dan berujung konflik horizontal antar umat beragama.

Dan contoh ketiga, terkhusus berkaitan dengan radikalisme yakni pelaku teroris kerapkali menggunakan media sosial untuk merekrut, dan menyebarluaskan propaganda, menyusupkan ideologi, hingga ajakan partisipasi dalam aktivitas kelompoknya. Misalnya, Dian Yulia Novi, tersangka bom panci di Istana Presiden tahun 2016 lalu mengaku bahwa ia mengenal ajaran radikal melalui media sosial Facebook selama satu tahun.

Dengan demikian, post-truth berhasil menebar kebencian, ketakutan, was-was, dan mengkonstruksi pikiran publik agar tidak percaya terhadap pihak-pihak tertentu yang dianggap musuh, dan melahirkan radikalitas keberagamaan.

Menurut, Ulya, dalam tulisannya yang berjudul Post-Truth, Hoax, dan Religiusitas di Media Sosial (2018), menjelaskan bahwa fenomena radikalitas keberagamaan merupakan budaya yang dapat terbentuk melalui perubahan sosial, termasuk media sosial. Dengan demikian, proses peningkatan perilaku radikal bisa terbentuk melalui konten-konten/informasi yang dibaca dan dibagikan di media sosial.

Menariknya, hal tersebut semakin di dukung oleh kekuatan post-truth yang akan mengkonfigurasi religiusitas masyarakat sesuai kepentingan suatu kelompok tertentu. Jika, informasi keagamaan mengarah pada fakta yang dibuat-buat berdasarkan pehamanan kelompok tertentu maka akan menciptakan fanatisme berlebih terhadap pemahaman keagamaan tanpa menghargai perbedaan keyakinan.

Akibatnya, anggapan bahwa kelompok atau agama lain salah, kelompok saya paling benar, dan ideologi saya benar bahkan di atas ideologi negara lahir oleh sebab konstruksi pesan keagamaan dibalut post-truth.

Jika demikian terus terjadi, lantas apa penyebab fenomena tersebut bermunculan?

Budaya Instan

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia banyak yang lebih menyukai hal yang serba cepat, cepat ingin pintar, cepat ingin kaya, cepat ingin terkenal, cepat ingin berkuasa yang menggunakan cara yang cepat pula atau instan. Bahkan, mungkin hanya sedikit dari kita yang masih mempertahankan budaya pola pikir kritis nan mendalam yang diiringi sikap rasionalitas, kehati-hatian, dan kesantunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun