Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media Sosial (Instagram) dan Dramaturgi

1 Juli 2020   15:37 Diperbarui: 1 Juli 2020   15:38 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial Instagram adalah sebuah platform media yang menyediakan kemudahan fasilitas kepada siapa pun untuk mengelola tampilan di mata publik. Instagram juga memiliki daya tarik tersendiri dan sangat populer saat ini. Buktinya, pengarusutamaan pertunjukan citra diri di konstruksi melalui media sosial yang satu ini, mengunggah photoselfie (swafoto), hingga mengunggah video menggunakan Instagram menjadi budaya populer saat ini. Terlebih, Instagram kerapkali menjadi media yang seringkali memviralkan suatu isu tertentu yang kemudian dibicarakan publik luas.

Nyatanya foto-foto dan video yang diunggah di Instagram sering menjadi bahan untuk dikomentari, dibagikan, dan dijadikan tren baru di dunia nyata. Oleh karena itu, Instagram selain media berbagi informasi, berkomunikasi, tetapi juga dimanfaatkan oleh pengguna untuk mengelola kesan, merepresentasikan diri yang baik di mata publik, dan bahkan menonjolkan sisi diri yang ingin ditonjolkan kepada publik.

Lantas, bagaimana sebetulnya pengelolaan kesan (impression management) dalam postingan di media sosial Instagram?

"Sandiwara" Ala Dramaturgi

Erving Goffman, seorang sosiolog berpengaruh abad ke-20 kelahiran Canada yang terkenal melalui perspektif interaksionisme simbolik, memperkenalkan konsep dramaturgi. Dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959), Goffman berujar:

"The individual will have to act so that he intentionally or unintentionally expresses himself and the others will in turn have to be impressed in some way by him". Artinya, setiap individu selalu bertindak secara sengaja atau tidak sengaja dengan mengekspresikan dirinya dan orang lain akan terkesan dengan cara ataupun ekspresi tiap-tiap individu tersebut.

Konsep dramaturgi Goffman dapat diartikan penampilan teateritis kehidupan. Artinya, Goffman melihat adanya kesamaan antara pementasan teater dengan jenis peran yang dimainkan dalam interaksi dan tindakan yang dilakukan. Bak panggung sandiwara, kita sebagai aktor bisa memamerkan peran kehidupan, merepresentasikan diri, dan bermain melalui adegan-adegan ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain.

Untuk mempermudah memahami sebuah pertunjukan, Goffman membagi dua wilayah penting:

Pertama, region (wilayah depan). Wilayah ini juga seringkali disebut panggung depan (front stage) yang bisa ditonton oleh publik. Melalui panggung depan, seseorang bisa menampilkan peran formal atau layaknya berperan sebagai aktor. Konsekuesninya, seorang aktor harus menentukan setting, penampilan diri, peralatan untuk mengekspresikan diri, penampilan, hingga gaya. Panggung depan juga harus didukung oleh penampilan fisik yang bagus dan bahasa verbal yang memikat.

Kedua, back region (wilayah belakang). Atau disebut pula back stage (panggung belakang). Panggung belakang berfungsi sebagai kamar rias untuk mempersiapakan diri atau sekedar berlatih memainkan peran di panggung depan. Panggung belakang juga berfungsi untuk melakukan aktivitas tersembunyi sebagai modal keberhasilan akting di panggung depan.

Menariknya, dalam memahami dramaturgi Goffman, sebuah pertunjukan sandiwara akan bermuara pada pengeloaan kesan (impression management). Pengelolaan kesan adalah sebuah penilaian yang diberikan orang lain dan menyebabkan pemiliknya puas. Atau sederhananya memperoleh "tepuk tangan" dari para pentonton dalam sebuah pertunjukan.

Menurut Michael Argyle dalam bukunya yang berjudul Bodily Communication (2007), sebuah pengelolaan kesan didorong berdasarkan pada tiga motivasi. Pertama, keinginan untuk memperoleh imbalan materi atau sosial. Kedua, mempertahankan atau meningkatkan harga diri. Ketiga, mempermudah pengembangan identitas diri atau menciptakan dan mengukuhkan identitas diri.

Dengan demikian, motivasi mengelola kesan biasanya melibatkan tujuan yang penting seperti imbalan materi, persetujuan, atau persahabatan dimana individu merasa tidak puas terhadap image yang ditunjukkan saat ini.

Jika demikian, lantas apakah budaya Instagram kekinian merupakan buah sandiwara belakang panggung?

Semuanya Demi Citra Diri?

Tika Mutia dalam penelitiannya yang berjudul Generasi Milenial dan Instagram: Suatu Fenomena dalam Pengelolaan Kesan Ditinjau dari Perspektif Komunikasi Islam (2017), mencatat bahwa sebagian kalangan khususnya generasi milenial masih ditemukan ketidaksesuaian antara penampilan, dan gaya pada apa yang ditampilkan di panggung depan dengan apa yang ditampilkan di panggung belakang.

Di panggung depan mereka menampilkan kesan eksklusif melalui pakaian dan aksesoris trendi, namun ternyata di panggung belakang mereka hanya individu biasa yang tidak memiliki profesi atau karir yang menunjang kebutuhan tersebut dan justru bergantung pada orang tua.

Boleh jadi seseorang terlihat cantik di Instagram, sangat gaul, trendi, selalu kekinian, berfoto di tempat-tempat terbaik, mengunjungi tempat wisata terkenal, dan sangat terlihat bahagia, namun di dunia nyata mereka dihadapkan pada posisi sebaliknya.

Dengan demikian, Instagram sebagai penunjang era hiper-realitas seperti sekarang, bisa menjadi media bersandiwara untuk menciptakan kesan citra diri yang baik, namun demikian sebuah citra diri yang baik haruslah disadari tidak hanya dibentuk melalui media sosial saja.

Berkaca pada tulisan Michael Argyle di atas, memang meningkatkan harga diri dan mengukuhkan identitas diri merupakan motif-motif yang banyak dilakukan di Instagram saat ini. Lebih jauhnya, jumlah followers dan iklan akan menjadi tujuan lain sebagai motif imbalan.

Padahal jika hal tersebut terus dipaksakan maka sangat berbahaya. Vogel, E. A, dkk, melalui penelitiannya yang berjudul Social comparison, social media, and self-esteem (2014), mencontohkan bahwa seseorang yang terus mengejar perbandingan yang yang tinggi ke atas (misalnya, gaya hidup, budaya, dan pakaian) untuk dipamerkan di media sosial tetapi tidak memiliki modal yang cukup, maka justru akan mengalami kerusakan harga diri dan sifat yang buruk.

Meski demikian, apa yang diunggah di Instagram tidak melulu merupakan sebuah setting agar citra diri seseorang baik, pintar, kaya, dan trendi, serta lebih hebat dibanding orang lain. Masih ada hal lain yang dipandang penting sebagai pelaksanaan fungsi utama Instagram, misalnya fungsi pendidikan, komunikasi, informasi, hingga gerakan sosial untuk keadilan.

Tinimbang Instagram ramai dipenuhi foto dan video yang minim manfaat, atau sekedar menunjukkan citra diri, alangkah lebih baik jika diisi oleh konten-konten pendidikan, penyebarluasan pengetahuan, atau menciptakan gerakan sosial baru yang membela hak warga negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun