Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media Sosial (Instagram) dan Dramaturgi

1 Juli 2020   15:37 Diperbarui: 1 Juli 2020   15:38 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menariknya, dalam memahami dramaturgi Goffman, sebuah pertunjukan sandiwara akan bermuara pada pengeloaan kesan (impression management). Pengelolaan kesan adalah sebuah penilaian yang diberikan orang lain dan menyebabkan pemiliknya puas. Atau sederhananya memperoleh "tepuk tangan" dari para pentonton dalam sebuah pertunjukan.

Menurut Michael Argyle dalam bukunya yang berjudul Bodily Communication (2007), sebuah pengelolaan kesan didorong berdasarkan pada tiga motivasi. Pertama, keinginan untuk memperoleh imbalan materi atau sosial. Kedua, mempertahankan atau meningkatkan harga diri. Ketiga, mempermudah pengembangan identitas diri atau menciptakan dan mengukuhkan identitas diri.

Dengan demikian, motivasi mengelola kesan biasanya melibatkan tujuan yang penting seperti imbalan materi, persetujuan, atau persahabatan dimana individu merasa tidak puas terhadap image yang ditunjukkan saat ini.

Jika demikian, lantas apakah budaya Instagram kekinian merupakan buah sandiwara belakang panggung?

Semuanya Demi Citra Diri?

Tika Mutia dalam penelitiannya yang berjudul Generasi Milenial dan Instagram: Suatu Fenomena dalam Pengelolaan Kesan Ditinjau dari Perspektif Komunikasi Islam (2017), mencatat bahwa sebagian kalangan khususnya generasi milenial masih ditemukan ketidaksesuaian antara penampilan, dan gaya pada apa yang ditampilkan di panggung depan dengan apa yang ditampilkan di panggung belakang.

Di panggung depan mereka menampilkan kesan eksklusif melalui pakaian dan aksesoris trendi, namun ternyata di panggung belakang mereka hanya individu biasa yang tidak memiliki profesi atau karir yang menunjang kebutuhan tersebut dan justru bergantung pada orang tua.

Boleh jadi seseorang terlihat cantik di Instagram, sangat gaul, trendi, selalu kekinian, berfoto di tempat-tempat terbaik, mengunjungi tempat wisata terkenal, dan sangat terlihat bahagia, namun di dunia nyata mereka dihadapkan pada posisi sebaliknya.

Dengan demikian, Instagram sebagai penunjang era hiper-realitas seperti sekarang, bisa menjadi media bersandiwara untuk menciptakan kesan citra diri yang baik, namun demikian sebuah citra diri yang baik haruslah disadari tidak hanya dibentuk melalui media sosial saja.

Berkaca pada tulisan Michael Argyle di atas, memang meningkatkan harga diri dan mengukuhkan identitas diri merupakan motif-motif yang banyak dilakukan di Instagram saat ini. Lebih jauhnya, jumlah followers dan iklan akan menjadi tujuan lain sebagai motif imbalan.

Padahal jika hal tersebut terus dipaksakan maka sangat berbahaya. Vogel, E. A, dkk, melalui penelitiannya yang berjudul Social comparison, social media, and self-esteem (2014), mencontohkan bahwa seseorang yang terus mengejar perbandingan yang yang tinggi ke atas (misalnya, gaya hidup, budaya, dan pakaian) untuk dipamerkan di media sosial tetapi tidak memiliki modal yang cukup, maka justru akan mengalami kerusakan harga diri dan sifat yang buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun