Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Covid-19 dan Waktu Senggang

14 April 2020   16:59 Diperbarui: 14 April 2020   16:58 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 yang semakin menjadi-jadi dan belum diketahui kepastian berhentinya menyebabkan aktivitas masyarakat dilaksanakan dirumah masing-masing, namun masih banyak masyarakat yang memaknai hal ini sebagai waktu senggang yang minim produktivitas, dan terbuang percuma. Lalu, bagaimana semestinya masyarakat memaknai aktivitas di rumah kala pandemi Corona sekarang ini? 

Ditengah pandemi Corona yang sudah berlarut selama kurang lebih 4 bulan lamanya, penurunan mobilitas masyarakat secara langsung untuk menekan angka dampak Covid-19 terus dilakuan. 

Setelah DKI Jakarta  menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak jumat lalu, kini kebijakan tersebut akan diikuti oleh wilayah penunjang DKI Jakarta yaitu Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi (Bodetabek) pada rabu besok. 

Wilayah lain tercatat yang juga melaksanakan PSBB yaitu Pekanbaru, diluar Pulau Jawa. Kebijakan ini merupakan buntut kebijakan sebelumnya yakni pembatasan sosial (social distancing) yang esensinya sama-sama mengharuskan aktivitas di rumah kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Pembatasan sosial ini secara otomatis terjadi pada aktivitas utama masyarakat seperti pekerjaan, pembelajaran, dan aktivitas kebutuhan lainnya. Semuanya dilaksanakan di rumah masing-masing dengan memanfaatkan flatform digital yang ada.

Meski mendapat respon positif, pembatasan sosial ini juga banyak direspon negative. Banyak faktor yang mengharuskan masyarakat beraktivitas diluar rumah, semisal urusan pekerjaan, khususnya pekerjaan pada sektor informal. Hal tersebut tentu menghambat aktivitas diluar rumah agar tetap memenuhi kebutuhan harian, apalagi tidak adanya bantuan yang datang.

Namun yang ironis, banyak masyarakat justru mengeluhkan kebosanan ketika beraktivitas di rumah. Saking bosannya, banyak masyarakat yang melanggar aturan saat wabah corona ini seperti berwisata, nongkrong—berkerumun, dan agenda lainnya yang melibatkan kerumunan banyak orang. Belum lagi, aktivitas negatif di media sosial seperti penyebaran hoaks dan propaganda ketakutan.

Hal tersebut sesuai dengan budaya waktu senggang masyarakat post-modern. Dimana lahir kebiasaan-kebiasaan popular yang menjadi ciri khas namun terkesan berlebihan, atau tidak sesuai kebutuhan, dan menggunakan media sosial sebagai media pamer.

Waktu Senggang

Perkembangan globalisasi dunia saat ini melahirkan budaya pelesiran. Termasuk di Indonesia, budaya wisata atau pelesir memiliki antusias sangat tinggi. Ini akibat dari adanya pemanfaatan waktu senggang. 

Trendnya berkunjung ke tempat wisata Puncak, Lembang, Trans Studi Mall, Bali, Ancol, dan Pangandaran yang kemudian diabadikan dan di bagikan di media sosial gemar dilakukan masyarakat Iindonesia. 

Belum lagi di kota-kota besar, tren nongkrong, ngopi, di kafe-kafe banyak dilakukan sebagai budaya popular. Bahkan, hal tersebut menghilangkan sekat kelas sosial masyarakat akibat samarnya status dalam dunia virtual, siapa pun bisa melakukan hal tersebut. Ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pemanfaatan waktu senggang.

Waktu senggang di definisikan sebagai waktu kosong, luang, atau sebuah jeda aktivitas harian. Namun, term ini identik dengan pemanfaatan waktu luang yang tidak sesuai porsi dan biasanya dilakukan oleh kalangan menengah ke atas seperti agenda rekreatif dan konsumsi berlebih. 

Hal ini bertujuan untuk menegaskan kelas sosial darimana mereka berasal yakni golongan kelas menengah dan atas. Menurut Franciskus Simon dalam karyanya Kebudayaan dan Waktu Senggang, cara masyarakat post-industrial dalam menghabiskan waktu senggang jauh dari idealisme, atau hanya identik dengan aktivitas hedonis, rekreatif, dan konsumtif. Berbeda dengan zaman Yunani Kuno dulu, mereka memanfaatkan waktu senggang dengan diskusi, menulis, dan aktivitas lainnya yang produktif.

Pada dasarnya waktu senggang selalu berkonotasi positif. Menurut Josep Pieper, dalam bukunya Leisure: The Basis of Culture, terdapat lima poin penting memahami waktu senggang.

Pertama, waktu jeda dari runititas pekerjaan, kesibukan, keseharian, dan santai. Artinya suasana setelah melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu sesuai prioritas kehidupan.

Kedua, waktu rileks. Rileks disini jika dimaknai di sekolah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran yang santai, rileks, tepat, bukan pembelajaran yang menekan dan membebani siswa.

Ketiga, sikap kontemplatif. Yakni sikap yang tidak hanya membiarkan segala peristiwa berlalu begitu saja, melainkan sebuah aktivitas imajinasi petualangan untuk mengumpulkan ide-ide, merumuskan penalaran, mengasah daya abstraksi, dan menajamkan intuisi.

Keempat, waktu kesunyian. Bukan suatu kebisuan, kehampaan, atau kebodohan, tetapi sikap keterbukaan dan penegasan.

Kelima, waktu yang menyatu dengan diri sendiri. Artinya, pemanfaatan waktu senggang yang positif sesuai manajemen dan kemampuan masing-masing. Seorang pekerja selayaknya beristirahat sejenak untuk menikmati pekerjaannya agar kembali normal.

Semuanya Bisa Dilakukan di Rumah

Ditengah pandemi Covid-19 ini, aktivitas di rumah banyak dimaknai sebagai waktu senggang tanpa esensi. Ini bukti dari ketidakbiasaan masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan waktu-waktu produktif di rumah. 

Meskipun, faktor kebutuhan akan pekerjaan, kondisi yang tidak memadai, dan kepentingan lainnya turut mempengaruhi ketidakbiasan tersebut. Yang jelas, masih banyak dari kita yang memanfaatkan momentum tinggal dirumah dengan aktivitas-aktivitas yang tidak bermanfaat dan sia-sia.

Memang kebosanan pasti selalu menghinggapi semua orang, ini pasti dirasakan semua orang. Menurut Marion Martin, Gaynor Sadlo, dan Graham Stew, dalam karyanya The Phenomenon of Boredom, kebosanan memang pengalaman yang pernah dialami semua orang dan menyedihkan, kelesuan, dan kegelisahan. Namun, kebosanan akan berubah seiring strategi yang bervariasi salah satunya peningkatan stimulasi kenyamanan lingkungan sekitar.

Hal tersebut bisa dilakukan dengan memanfaatkan aktivitas di rumah semaksimal mungkin akan berdampak positif, menghabiskan waktu dengan keluarga, beribadah, berolahraga, membaca buku, menulis, belajar, hingga bermain games bisa dilakukan kala pandemi seperti sekarang di rumah.

Bagi keluarga, aktivitas penuh pada sosialisasi anak sesuai tahapan bisa dilakukan dengan maksimal. Mungkin sebelumnya kesibukan pekerjaan menghilangkan cengkrama dengan keluarga dan anak, sekarang saatnya kesemuanya itu bisa di konsep ulang dengan baik.

Kegiatan belajar di rumah bagi pelajar dan mahasiswa juga harus dibuat dengan menyenangkan. Mungkin saatnya memberikan kesempatan kepada pelajar dan mahasiswa untuk melakukan refleksi dan penciptaan karya-karya sesuai passionnya dengan nyaman dan tanpa tekanan.

Begitu pula dalam konsumsi kebutuhan. Meski disokong kemudahan berbelanja secara online, namun menjaga prinsip untuk berkecukupan tetap harus dijaga, tidak berlebihan berbelanja, dan tetap berdonasi untuk membantu sesama juga penting dilakukan.

Akhirnya, ibarat lirik lagu Kemesraan dari Iwan Fals, momen kemesraan harus diciptakan di rumah dalam belajar, bekerja, beribadah bersama seluruh anggota keluarga. Kemesraan dibalut keikhlasan pada hikmah terbesar adanya pandemi ini sehingga rumah merupakan surga bagi semua anggota keluarga. Tempat yang nyaman dan penuh arti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun