Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012), dan Rempah Rindu Soto Ibu (Taresia, 2024). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Menyeruput Puisi untuk Kopiku

27 Januari 2025   20:31 Diperbarui: 27 Januari 2025   20:31 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul buku 'Puisi untuk Kopiku' karya Sapto H.P. (Sumber: Setiyo)

Biarlah waktu menjadi puisi yang tak rumit, tanpa tanda tanya

Karena duka terlalu banyak sudah yang tak berjawab.

Penggalan puisi yang tertulis di sampul belakang buku, seperti ingin menggambarkan makna puisi-puisi dalam buku antologi "Puisi untuk Kopiku" karya Sapto H.P. Sederhana, namun memberikan kesan mendalam.

Buku terbitan Penerbit Kiblat, Bandung ini memuat 66 puisi karya Sapto H.P. tentang beragam tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Nikmat secangkir kopi seperti menjadi jembatan yang mengantarkan pembaca pada makna puisi.

Dalam "Puisi untuk Kopiku", penyair seperti ingin memberikan pesan melalui goresan puisi kepada seseorang yang diibaratkan sebagai secangkir kopi.

Ini puisi untukmu/ Kutulis tanpa kata-kata manis/ Tanpa gula-gula/ Apa adanya sepertimu.

Begitulah, nikmat kopi serupa seduhan kata-kata yang menghanyutkan perasaan. Meski tak seberani Jaka Tarub, penyair kembali mengungkapkan perasaannya pada "Puisi Buat Bidadari".

Karena dirimulah/ Pelangi menjadi indah/ Warna-warni tercipta/ Menyita pandang semesta.

Selain berkutat dengan ungkapan rasa cinta yang personal, puisi-puisi dalam buku ini juga menyentuh tema-tema lain seputar masalah sosial, agama, politik dan lain-lain dengan gaya yang khas.

Dalam puisi berjudul "Roti Sobek", Sapto H.P. menulis bait puisi yang menerbitkan senyum, "Maria bawa roti/ Rupa-rupa warnanya/ Mari sobek yang hijau/ Meletus roti coklat."

Masa-masa pandemi Covid-19 dimana kabar duka melebihi yang lima waktu, tak luput dari perhatian penyair. Beberapa puisi menggambarkan suasana mencekam saat pandemi. Saat itu berita kematian bertubi-tubi: Yang pergi, berplastik sepi. Yang ditinggal, bersama ngeri.

Tragedi lumpur Lapindo pada 2006 juga menjadi perhatian Sapto H.P bahkan menjadi puisi-puisi yang dimuat dalam bab tersendiri. Saat itu, semburan lumpur menggenangi beberapa desa di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Lumpur menenggelamkan pemukiman, ada masjid yang puncaknya setinggi pinggang. Airmata duka yang menyelimuti wilayah tersebut diabadikannya dalam: Porong, kucatat sepekat-pekatnya dalam sajak.

Setelah membaca puisi-puisi dalam buku ini, pembaca mungkin akan bertanya-tanya: Siapa sebenarnya Sapto H.P.? Pertanyaan itu wajar karena buku ini tak memuat biodata atau profil apalagi foto sang penyair.

Namun di era digital kita bisa berselancar di dunia maya untuk mencari tahu. Saya yakin pembaca akan menemukan siapa sebenarnya sang penyair.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun