Masa-masa pandemi Covid-19 dimana kabar duka melebihi yang lima waktu, tak luput dari perhatian penyair. Beberapa puisi menggambarkan suasana mencekam saat pandemi. Saat itu berita kematian bertubi-tubi: Yang pergi, berplastik sepi. Yang ditinggal, bersama ngeri.
Tragedi lumpur Lapindo pada 2006 juga menjadi perhatian Sapto H.P bahkan menjadi puisi-puisi yang dimuat dalam bab tersendiri. Saat itu, semburan lumpur menggenangi beberapa desa di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Lumpur menenggelamkan pemukiman, ada masjid yang puncaknya setinggi pinggang. Airmata duka yang menyelimuti wilayah tersebut diabadikannya dalam: Porong, kucatat sepekat-pekatnya dalam sajak.
Setelah membaca puisi-puisi dalam buku ini, pembaca mungkin akan bertanya-tanya: Siapa sebenarnya Sapto H.P.? Pertanyaan itu wajar karena buku ini tak memuat biodata atau profil apalagi foto sang penyair.
Namun di era digital kita bisa berselancar di dunia maya untuk mencari tahu. Saya yakin pembaca akan menemukan siapa sebenarnya sang penyair.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI