Keterbatasan tersebut itu tak menggoyahkan semangat untuk belajar baik di sekolah maupun di rumah, walaupun di bawah penerangan lampu teplok minyak tanah. Sepulang sekolah kami masih bisa bermain menikmati masa kecil bersama teman-teman: mandi di sungai, bermain layang-layang, sepak bola, mencari ikan, dan keseruan lainnya.
Karena setiap generasi memiliki tantangan masing-masing, cerita yang saya alami mungkin sudah menjadi nostalgia masa lalu. Namun kenangan seperti itu mungkin bisa menjadi motivasi bagi generasi sekarang bahwa dalam kondisi apapun, jangan patah semangat untuk belajar.
Tantangan terkini antara lain kemajuan teknologi yang sering melenakan dan memanjakan mata. Begitu juga anak-anak yang betah berlama-lama mantengin layar smartphone, bermain game online atau melihat video yang berseliweran di Youtube atau Tik Tok. Akhirnya anak-anak jadi malas alias mager kalau disuruh belajar.
Namun kemajuan teknologi jika dimanfaatkan dengan baik juga bisa digunakan untuk sarana pembelajaran yang efektif dan menarik. Tak salah jika ada yang menyebut kalau teknologi itu seperti pisau bermata dua. Jadi tergantung bagaimana kita memanfaatkannya.
Kembali ke program MBG, mungkin ada baiknya jika makanan diberikan kepada anak sekolah sebagai sarapan sebelum proses belajar mengajar. Sarapan memiliki banyak manfaat seperti sumber energi, menjaga mood, menjaga konsentrasi, dan lain-lain.
Untuk makan siang, anak-anak sekolah bisa makan siang di rumah masing-masing, dengan menu yang telah dipersiapkan oleh orang tua. MBG sebagai makan siang mungkin bisa diberikan kepada anak sekolah yang berangkat siang.
UMKM seperti rumah makan atau Warteg bahkan ibu-ibu Posyandu di sekitar sekolah bisa diberdayakan untuk menjadi penyedia MBG, tentu saja setelah mendapatkan pelatihan mengenai paduan menu yang sehat dan bergizi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H