Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Gerobak Lepet dan Lopis di Antara Jajanan Kekinian

27 November 2022   12:48 Diperbarui: 27 November 2022   12:52 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerobak yang menjual lepet dan lopis (dok pribadi)

Puluhan gerobak berisi aneka jajanan berjajar di pinggir jalan dekat Taman Rangkepan Jaya, Depok. Di antara jajanan seperti maklor, cilor, bilung, basreng, papeda, dorayaki, takoyaki, cireng dan jajanan kekinian lainnya terselip gerobak berisi lepet dan lopis.

Gerobak lepet itu menarik perhatian saya. Seketika saya terkenang kampung halaman. Sewaktu saya kecil, ayah suka membawa penganan lepet saat pulang dari pasar atau acara selamatan. Lepet biasanya terselip di antara penganan dalam besek selamatan.

Lepet merupakan penganan atau camilan yang terbuat dari beras ketan dan parutan kelapa, biasanya ditambah kacang tolo kemudian dibungkus daun kelapa muda/janur. Lepet diikat dengan tali yang terbuat dari bambu.

Lepet biasa dimakan bersama dengan serundeng. Sementara lopis yang juga terbuat dari beras ketan namun dibungkus daun pisang ditemani parutan kelapa dan cairan gula.

Saya sempat berbincang dengan Kong Jalil, penjual lepet dan lopis tersebut. Meskipun sudah kakek-kakek, Kong Jalil masih semangat menjajakan dagangannya.

Wajahnya penuh kerutan dan rambutnya memutih semua, mungkin karena terlalu banyak memikirkan rakyat atau tempaan perjalanan hidup. Yang jelas Kong Jalil tekun turun ke jalan, mendorong gerobak berjualan lepet dan lopis.

Kong Jalil mengaku sudah puluhan tahun berjualan lepet dan lopis. Dulu ia berjualan dengan ayahnya. Tahun tepatnya ia lupa. Kong Jalil hanya ingat waktu itu harganya dua perak dapat empat lepet. Harga beras saat itu sekilo hanya 1,5 perak.

"Kamu pasti belum lahir," kata Kong Jalil yang memiliki empat anak dan sembilan cucu ini sambil terkekeh.

Saat ini Kong Jalil menjual lepet Rp 10 ribu untuk 4 lepet. Sementara 1 potongan lopis seharga Rp 2.500,-. Satu bungkus lopis bisa diiris menjadi beberapa potong.

Saya juga berkesempatan melihat Kong Jalil memotong lopis. Ternyata tidak memakai pisau melainkan dengan tali kenur. "Kalau pakai pisau lengket," tuturnya.

Seorang ibu mendekati gerobak Kong Jalil. Ia membeli beberapa lepet. "Saya kalau lihat lepet jadi sedih karena ingat almarhum ayah saya. Dia demen banget sama lepet," kata ibu itu.

"Anak zaman sekarang mah pada nggak demen makan lepet," imbuhnya.

Kong Jalil hanya tersenyum sambil melayani pembeli. 

Filosofi Lepet

Camilan lepet mudah ditemui saat lebaran Idulfitri di wilayah Pulau Jawa. Lepet juga muncul seminggu setelah lebaran atau sering disebut Lebaran Ketupat.

Beberapa sumber menyebutkan lepet berasal dari kata 'silep' yang artinya kubur atau simpan dan 'rapet' yang berarti rapat. Selain itu ada peribahasa terkait lepet, 'mangga dipun silep ingkang rapet' yang artinya, 'mari kita kubur yang rapat'.

Lepet menjadi simbol bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Melalui lepet, diharapkan tumbuh sifat saling memaklumi dan memaafkan kesalahan satu sama lain.

Laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, menyebutkan bahwa setiap bahan yang digunakan untuk pembuatan lepet memiliki makna sendiri.

Tekstur ketan yang lengket satu sama lain menggambarkan ikatan pertemanan yang kuat. Kelapa yang diparut halus menggambarkan kehalusan perasaan dan sopan santun.

Janur berasal dari kata "jatining nur" yang berarti cahaya sejati, menggambarkan sucinya kondisi manusia setelah menerima cahaya sejati selama bulan Ramadhan. Janur harus diambil dari puncak pohon kelapa menggambarkan upaya yang dilakukan umat muslim demi mencapai kesucian.

Tambahan garam secukupnya menggambarkan keseimbangan hubungan antar komunitas yang harmonis. Sementara tali bambu menyimbolkan pertemanan yang kuat.

Semoga lepet dan makanan tradisional lainnya tetap bertahan di antara gempuran jajanan kekinian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun