Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Apa Saja Tantangan di Era Disrupsi Informasi? Yuk Simak Paparan Gubernur Lemhannas

23 November 2022   08:13 Diperbarui: 23 November 2022   08:16 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar paparan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto di pembukaan Websummit DataGovAI 2022 (Zoom) 

Perkembangan teknologi membuat aktivitas manusia tidak lepas dari gawai yang terhubung dengan internet atau ruang siber. Kondisi ini bisa menciptakan kerawanan spesifik yang harus diantisipasi seperti ancaman siber dan disrupsi informasi.

Saat mengikuti pembukaan Websummit DataGovAI 2022 secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting pada Selasa (22/11/2022), saya tertarik dengan pemaparan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto tentang ancaman siber dan disrupsi informasi.

O iya, Websummit DataGovAI 2022 digelar oleh Asosiasi Big Data & AI (ABDI) dan akan berlangsung selama tiga hari pada 22, 24 dan 29 November 2022. Gelaran, Websummit DataGovAI 2022 mengusung tema utama 'Interoperability, Integrity & Trust Of Digital Technology Toward Future Economic Recovery & Metaverse'.

Dalam Websummit tersebut Andi menyampaikan bahwa serangan siber bisa berasal dari beragam aktor mulai dari negara asing, kelompok kriminal, teroris siber, dan peretas baik pemula maupun yang melakukan kegiatan-kegiatan hacktivism.

Metode pun beragam bisa menggunakan virus, serangan situs web, worms, phishing, serangan terhadap pangkalan data, hingga disrupsi informasi. Sasarannya bisa menyerang individu, perusahaan, hingga instansi pemerintah.

"Yang paling berbahaya kalau sasarannya berkaitan tentang infrastruktur kritikal yang mencakup kehidupan masyarakat banyak dan juga fasilitas-fasilitas strategis negara," tuturnya.

Dalam paparannya, Andi juga menjelaskan jenis-jenis dirupsi informasi yaitu misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Lalu apa perbedaannya?

Misinformasi terjadi ketika informasi yang salah disebarkan, namun tidak dengan maksud menyebabkan kekacauan. Disinformasi ketika informasi yang salah sengaja disebarkan untuk menyebabkan kekacauan. Sementara, malinformasi ketika informasi yang benar disebarkan untuk menyebabkan kekacauan.

Di era sekarang, teknologi telah menjadi faktor pemicu disrupsi informasi, termasuk dalam proses politik. Platform online, terutama media sosial, berpotensi menjadi kanal mempromosikan disinformasi dan memanipulasi opini publik. Situasi tersebut dapat memicu keretakan di masyarakat yang berujung pada ancaman terhadap demokrasi.

Lebih lanjut Andi menyampaikan, survei yang dilakukan beberapa negara menunjukkan bahwa sekitar 80% orang menyakini bahwa disinformasi memiliki efek negatif terhadap proses politik negaranya. Disinformasi dapat menabur ketidakpercayaan di berbagai pilar lembaga demokrasi, termasuk lembaga publik seperti pemerintah, parlemen, dan pengadilan atau prosesnya, serta media.

Andi mengingatkan, disrupsi informasi harus kita waspadai karena Indonesia akan masuk ke tahun politik. "Konsolidasi demokrasi kita akan diuji terutama dalam proses tahapan pelaksanaan pemilu 2024," imbuhnya.

Dalam paparannya, Andi juga menyampaikan tren global terkait semakin banyak negara memiliki aktivitas tentara siber. Aktivitas tentara siber ini pun terus mengalami peningkatan.

Pada 2020, data menunjukkan pada 81 negara terdeteksi penggunaan media sosial untuk penyebaran propaganda komputasi terkait politik. Angka meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 70 negara.

Tak hanya di dalam negeri, serangan disinformasi, misinformasi, dan malinformasi juga dilakukan lintas negara. Platform Facebook dan Twitter menjadi sarana yang paling umum digunakan untuk melakukan serangan tersebut.

"Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami disinformasi lintas negara yang harus kita cari untuk melakukan mitigasinya," kata Andi.

Hal ini menjadi tantangan bagai Indonesia yang akan memasuki tahapan Pemilu Presiden, Legislatif dan Kepala Daerah pada tahun 2024.

Idealnya, kematangan demokrasi dapat tercapai setelah melalui tujuh Pemilu demokratis. Sejak Pemilu 2014, Indonesia mulai memasuki tahap konsolidasi demokrasi. Namun demikian, Indonesia perlu mewaspadai perkembangan situasi terkini yang sarat akan ketidakpastian.

"Tantangan Indonesia adalah bagaimana kita melakukan tujuh pemilu demokratis untuk mewujudkan demokrasi yang matang," katanya.

Andi juga menyampaikan hasil studi Pew Reseach Center yang menemukan bahwa setengah ahli di bidang teknologi memprediksi bahwa penggunaan teknologi dari saat ini hingga 2030 justru akan melemahkan demokrasi. Alasannya yakni distorsi realitas yang cepat dan luas, menurunnya kualitas jurnalisme, dan dampak kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism).

Lalu bagaimana posisi Indonesia dalam perkembangan teknologi dan informasi (TIK)? Berdasarkan Networked Readiness Index (NRI) Indonsia dinilai belum sepenuhnya siap mengeksploitasi kesempatan yang ditawarkan TIK. Indonesia menduduki peringkat ke-66 dari 130 negara dengan skor 50,37 yang berada di bawah rerata global 52,22.

Indonesia memiliki skor di bawah rerata global pada 3 variabel NRI. Variabel manusia, khususnya terkait kesiapan sektor bisnis dalam memanfaatkan TIK, memiliki skor terendah.

Sementara, berdasarkan penilaian National Cyber Security Index (NCSI), kapasitas keamanan siber Indonesia berada di kategori kurang baik. Indonesia memiliki skor NCSI di bawah rerata global.

Menurut Andi, dalam pengembangan keamanan siber ada delapan kapasitas yang harus ditingkatkan yakni kebijakan, ancaman, pendidikan, kontribusi global, layanan digital, layanan esensial, data pribadi, dan manajemen krisis.

Sementara untuk menghadapi disrupsi informasi kita harus memperkuat strategi pencegahan, pengawasan dan deteksi, mengembangkan daya tahan keamanan siber, hingga mitigasi dampak. Melalui keempat strategi diharapkan kita akan memiliki satu kerangka kerja integratif untuk menanggulangi masalah-masalah yang muncul dari disrupsi informasi di ruang digital.

Demikian catatan saya saat mengikuti pembukaan Websummit DataGovAI 2022. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun