Andi mengingatkan, disrupsi informasi harus kita waspadai karena Indonesia akan masuk ke tahun politik. "Konsolidasi demokrasi kita akan diuji terutama dalam proses tahapan pelaksanaan pemilu 2024," imbuhnya.
Dalam paparannya, Andi juga menyampaikan tren global terkait semakin banyak negara memiliki aktivitas tentara siber. Aktivitas tentara siber ini pun terus mengalami peningkatan.
Pada 2020, data menunjukkan pada 81 negara terdeteksi penggunaan media sosial untuk penyebaran propaganda komputasi terkait politik. Angka meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 70 negara.
Tak hanya di dalam negeri, serangan disinformasi, misinformasi, dan malinformasi juga dilakukan lintas negara. Platform Facebook dan Twitter menjadi sarana yang paling umum digunakan untuk melakukan serangan tersebut.
"Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami disinformasi lintas negara yang harus kita cari untuk melakukan mitigasinya," kata Andi.
Hal ini menjadi tantangan bagai Indonesia yang akan memasuki tahapan Pemilu Presiden, Legislatif dan Kepala Daerah pada tahun 2024.
Idealnya, kematangan demokrasi dapat tercapai setelah melalui tujuh Pemilu demokratis. Sejak Pemilu 2014, Indonesia mulai memasuki tahap konsolidasi demokrasi. Namun demikian, Indonesia perlu mewaspadai perkembangan situasi terkini yang sarat akan ketidakpastian.
"Tantangan Indonesia adalah bagaimana kita melakukan tujuh pemilu demokratis untuk mewujudkan demokrasi yang matang," katanya.
Andi juga menyampaikan hasil studi Pew Reseach Center yang menemukan bahwa setengah ahli di bidang teknologi memprediksi bahwa penggunaan teknologi dari saat ini hingga 2030 justru akan melemahkan demokrasi. Alasannya yakni distorsi realitas yang cepat dan luas, menurunnya kualitas jurnalisme, dan dampak kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism).
Lalu bagaimana posisi Indonesia dalam perkembangan teknologi dan informasi (TIK)? Berdasarkan Networked Readiness Index (NRI) Indonsia dinilai belum sepenuhnya siap mengeksploitasi kesempatan yang ditawarkan TIK. Indonesia menduduki peringkat ke-66 dari 130 negara dengan skor 50,37 yang berada di bawah rerata global 52,22.
Indonesia memiliki skor di bawah rerata global pada 3 variabel NRI. Variabel manusia, khususnya terkait kesiapan sektor bisnis dalam memanfaatkan TIK, memiliki skor terendah.