"Memangnya berapa utang Paklik?"
"Satu jutaan," kata Paijo.
Bramantyo bangkit dan masuk ke dalam kamar, sepertinya berunding dengan istrinya. Setengah jam kemudian Bramantyo keluar dari kamar, memakai jaket hitam, masker, dan mengambil kunci motor di samping televisi. Perasaan Paijo diliputi kecemasan: Apakah Bramantyo akan pura-pura ada keperluan mendadak agar punya alasan untuk tidak memberinya pinjaman uang?
"Paklik istirahat saja dulu. Saya mau ke ATM sebentar." Jawaban Bramantyo terdengar di telinga Paijo seperti suara tukang es cendol dawet di tengah gurun sahara.
--- oOo ---
Paijo berjalan menuju Stasiun Tepi Kota sambil bersiul-siul gembira. Uang Rp 750 ribu pemberian Bramantyo telah mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit di sekujur tubuh. Memang jumlah uang itu tidak sesuai harapan, tetapi setidaknya bisa meringankan beban.
Tiba-tiba, Paijo merasakan cairan getir memenuhi rongga mulutnya. Setelah membuka masker, Paijo meludah. Cairan kental berwarna merah keluar bersama air liur. Paijo tak begitu kaget, mungkin darah itu berasal dari luka dalam rongga dadanya.
Namun, perasaan Paijo menjadi tak karuan saat menyadari kalau ia meludah di dekat gubuk kayu tempat orang-orang yang tadi memukulinya. Mereka terlihat masih berkumpul sambil bermain kartu. Harusnya ia ingat pesan orang tua: Jangan meludah sembarangan!
Paijo mempercepat langkahnya. Namun, salah satu dari mereka mengejar dan memegang lengan Paijo. Empat orang yang ada di gubuk ikut menghampiri dan merubungi Paijo.
"Eh, kamu lagi ya. Tadi ngelempar kaleng bekas, sekarang ngeludah sembarangan, nantangin lagi ya," hardik orang itu.
"Maaf Bang! Saya cuma mau ke stasiun. Tadi ada darah di mulut saya Bang! Saya kapok Bang dipukuli, rasanya masih sakit Bang," kata Paijo dengan wajah memelas sembari menunjuk darah kental yang membekas di jalanan.