Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kunti, Sudah Tidak Ada Kereta yang Lewat Malam Ini

21 April 2020   12:26 Diperbarui: 22 April 2020   19:08 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam setengah tujuh malam, Kunti sudah asyik berdandan di dahan pohon asem. Seperti biasa, Kunti memakai gaun warna putih favoritnya. Tak lupa bersolek memakai d'Meet Cosmetics yang dibelinya lewat olshop dengan opsi pembayaran COD.

Malam ini, Kunti rencananya ingin memberi kejutan pada Babang Kunto yang tinggal di Menara Saidah. Sudah dua bulan mereka tidak bertemu. Kunti takut Babang Kunto tergoda rayuan Si Manis Stasiun Cawang.

Kunti merekam langkah demi langkah saat bersolek. Rencananya buat bahan konten di akun youtube: Koenti-Imoetz yang bisa ditonton secara gratis, tanpa repot-repot mendaftar kartu prakerja. Judulnya mungkin: Cantik Sekejap Ala Kunti.

Selesai berdandan, Kunti menemui Emak Kunti yang sedang nonton drama Korea di telepon genggam. "Mak, Kunti mau ke Stasiun Gondangdia, ada janji ketemu ama Babang Kunto. Minta uang dong buat jajan ama isi kuota."

"Kamu ngapain ke stasiun, jam segini mah tutup, nggak tahu apa kalau sekarang musim corona. Kamu ini dikit-dikit minta uang buat kuota, kebanyakan main tik-tok sih."

"Ah Emak kok gitu sih, sama anak kok pelit."

Sambil bersungut-sungut, Emak mengambil uang di dompet putih bermerek Mori. Meskipun sudah emak-emak, namanya juga emak-emak, Emak Kunti juga suka mengoleksi barang bermerk buat dipakai saat pergi ke arisan emak-emak (ini kalimat kok banyak emak-nya yak).

"Sudah dibilangin kalau stasiun udah tutup nggak percaya. Nih ada uang dua ratus ribu, entar pulang beli kue pancong ya buat Emak."

"Iya Mak, Kunti pamit dulu ya," katanya sambil mencium tangan Emaknya.

Kunti-pun naik bajaj biru ke Stasiun Gondangdia. Lima belas menit kemudian, sampailah Kunti di Stasiun Gondangdia. Suasana terlihat sepi, tak seperti hari-hari. Biasanya stasiun masih ramai sampai tengah malam.

"KRL cuma sampai jam enam Neng sejak ada virus corona. Masak Eneng nggak tahu, pan beritanya ada di tipi-tipi ama medsos," kata penjual gorengan yang suka ngider di sekitar stasiun.

Waduh, bisa gagal deh ketemu Babang Kunto. "Kenapa nggak naik Ojol saja yak?," pikir Kunti sambil membuka aplikasi Ojol. Ternyata menu ojek motor tidak nampak di aplikasi. Waduh, ada apa ini, apa gara-gara corona juga. Siapa sih corona itu, pikirnya?

Kunti mencoba memencet menu ojek mobil, ternyata tarifnya 50 ribuan. Kok mahal seh, mendingan buat beli kuota, jadi bisa video call ama Babang Kunto.

Kunti melangkah gontai menuju pangkalan bajaj sambil celingak-celinguk mencari tukang pancong langganan Emaknya. Ini mah judulnya: Kunti, sudah tidak ada lagi kereta yang lewat. Malam ini Kunti gagal ketemu Babang Kunto.

--- oOo ---

Pagi-pagi sehabis mandi dan gosok gigi, Kunti sibuk memilih beberapa gaun yang bergelantungan dahan pohon asem. Gaun putih semua, warna favorit Kunti. Sebenarnya Kunti ingin sesekali memakai gaun warna pink atau ungu.

Setelah memakai gaun putih, Kunti bersolek dengan d'Meet Cosmetics. Setelah rapi jali, Kunti sempat joged untuk mengupdet akun tik-tok. Namanya goyang dahan asem.

O, iya mengapa Kunti tumben-tumbenan sudah rapi? Biasanya jam tujuh pagi dia masih ngorok dan ilernya berjatuhan membasahi daun-daun asem. Pagi ini Kunti ingin menebus kekecewaan malam kemarin sewaktu gagal ketemu Babang Kunto gara-gara KRL beroperasi hingga magrib saja.

Sebagai anak yang berbakti Kunti pun berpamitan pada Emaknya yang sedang menunggu Tukang Sayur Keliling. "Ya udah hati-hati. Kamu minta dimasakin apa?"

"Terserah Emak aja. Sayur asem juga boleh."

"Kita kan udah tinggal di pohon asem, masam makannya pakai sayur asem juga. Bagaimana kalau ayam asem manis. Eh asem juga yak."

"Ya terserah Emak aja deh," kata Kunti.

"Yo wis lah. Entar pulang beli kopi sachet ama susu ya. Emak pengin bikin Dalgona Coffee."

"Wah asyik Mak. Minuman kekinian itu," kata Kunti sambil mencium tangan Emaknya.

Singkat kata, setelah naik bajaj, Kunti sampai di Stasiun Gondangdia. Kunti pun membeli tiket harian. Sewaktu hendak nge-tap kartu, langkahnya dihadang petugas.

"Suhunya diukur dulu ya Neng," kata Petugas sambil menodongkan alat pengukur suhu atau thermoscan.

"Ampun Pak, saya cuma mau naik kereta jangan ditembak entar saya mati lagi," kata Kunti ketakutan.

"Bukan ditembak Neng, cuma diukur suhu tubuh, kan sedang musim Corona. Emang kalau Abang tembak Neng mau terima, eh."

Petugas pun langsung mengukur suhu suhu tubuh kunti. Angka di layar thermoscan berputar cepat dan berhenti di angka 00.0. Petugas kucek-kucek mata tak percaya.

"Waduh error nih alat. Saya coba cek lagi ya Neng."

Petugas kembali mengecek suhu tubuh Kunti. Angka di layar thermoscan kembali berputar cepat berhenti di angka 39.9. Petugas terkejut. Angka kemudian berputar lagi dan berhenti di angka 13.0.

"Waduh masak sudah error nih alat, kan belum lama beli," gerutu Petugas.

Petugas lain menghampiri. Thermoscan dicoba untuk mengukur penumpang lain. Ternyata normal-normal saja. Kunti kembali dicek, angka di thermoscan kembali berputar cepat kemudian capek dan berkedip-kedip: ERR.

"Wah error ini, coba kita periksa saja di Ruang Kesehatan," bisik petugas.

"Maaf Neng mari kita ke Ruang Kesehatan biar diperiksa petugas kesehatan."

Kunti terkejut. Ini mau naik kereta kok pakai cek kesehatan yak. Kunti pun gemetaran. Bagaimana kalau nanti dicek suhu tubuhnya, tensi darahnya, detak jantungnya, diberi obat atau disuntik, bahkan bisa-bisa dikarantina.

Kunti pucat mendadak dan memilih kabur dengan terbang lewat jendela stasiun. "Haannn... haaaannnntuuu," kata salah satu petugas. Wajah kedua petugas langsung pucat dan kompak pingsan.

Sementara Kunti pulang ke pohon asem dengan rasa kecewa karena gagal lagi bertemu Babang Kunto.

Depok, 21 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun