Suasana malam Jumat saat wabah virus corona, terasa syahdu di dipo Kereta Rel Listrik (KRL). Waktu merambat mendekati pukul delapan malam. Puluhan rangkaian kereta berjajar melepas lelah setelah seharian bekerja keras.
Di sudut sepi, dua kereta berbincang. Rembulan mulai mengintip di sela awan. Jalur-jalur rel dan batu-batu setia dengan kebisuannya. "Biasanya kita baru bisa istirahat selepas larut malam," kata kereta pertama.
"Iya, virus corona memaksa kita cepat pulang. Padahal kita terkenal sebagai ular besi perkasa tapi virus yang tak kelihatan bisa mengubah jadwal dan rencana-rencana," jawab kereta kedua.
"Makhluk tak kasatmata itu memang sudah menebarkan kerisauan yang nyata. Orang-orang harus memakai masker dan menjaga jarak agar tak tertular. Mereka juga jadi rajin cuci tangan dan memakai hand sanitizer,” kata kereta pertama. Rangkaian kereta yang ada di dipo terdiam, entah mengantuk atau menyimak percakapan itu.
“Untung saja kita tak perlu memakai masker walau harus rutin disemprot cairan sabun, apa itu namanya?”
“Kalau nggak salah diisiketan, eh disinfektan atau desinfektan gitu. Lagian masker yang mendadak langka dan dijual mahal di dekat stasiun tidak ada yang muat buat kita,” jawab kereta pertama.
“Kan kita bisa pesan masker kain, mungkin dari kain spanduk sisa kampanye. Apa dari celana kolor yang suka dijemur di pinggir rel kereta.”
“Ha ha, kamu ada-ada saja.”
“Tapi sejak ada PSPB eh apa itu PSBB ya, tugas kita jadi ringan. Penumpang sudah banyak berkurang, tak seperti hari-hari biasa. Apalagi kalau pas jam sibuk di pagi atau sore hari, aku kadang ngos-ngosan membawa sesak penumpang.”
“Ah, itu mah faktor U kali.”