Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Hantu Gerbong Tujuh

29 April 2017   23:11 Diperbarui: 30 April 2017   02:46 3880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hantu gerbong tujuh (foto http://showbiz.liputan6.com)

"Perhatian dari jalur dua akan segera masuk KRL Commuter Line jurusan Bogor.  Para penumpang diharap untuk mempersiapkan diri."

Panji beranjak dari bangku tunggu. Waktu di telepon genggamnya menunjukkan pukul 23.04 WIB. Perlahan Kereta Rel Listrik (KRL) berderak memasuki Stasiun Cawang. Saat kereta berhenti dan pintu terbuka, Panji dengan santai memasuki gerbong tujuh.

Konsentrasi Panji lekat di layar telepon genggam. Jempol tangannya asyik dengan percakapan di grup Whatsapp: Jomblohati. Rumpian di grup bertambah syahdu, karena sepasang earphone melantunkan lagu "Terlalu Lama Sendiri" karya Kunto Aji.

Karena sering naik KRL, Panji pernah memparodikan lagu itu: Sudah terlalu lama berdiri ♪ Di kereta terlalu lama aku asyik berdiri ♪ Berdiri tak ada yang menemani ♪ Pegalnya...

Malam ini, Panji kembali harus berdiri. Semua tempat duduk terisi oleh penumpang yang menundukkan wajah. Ada yang terkantuk-kantuk. Ada yang sibuk dengan handphone-nya. Sebenarnya Panji berharap bisa duduk untuk melepas lelah. Tugas tambahan di  tempat Praktek Kerja Lapangan (PKL) memaksa Panji pulang malam.

Ketika KRL hendak memasuki Stasiun Kalibata, Panji merasakan guncangan. Refleks tangannya mencari tali pegangan. Tiba-tiba tangannya merasakan sesuatu yang tidak seperti biasanya. Ia memegang benda empuk mirip boneka.

Saat mendongakkan wajah, Panji memperhatikan benda yang dipegangnya. Pegangan tangan di KRL memang menjadi ajang kreativitas para pengiklan. Bentuknya menyesuaikan produk-produk yang diiklankan seperti botol minuman berenergi, obat ketiak, es krim, hingga sepatu boots.

Ketika membalik kain putih yang diikat tiga bagian, Panji mendapati sesosok wajah putih menyeramkan. Panji berteriak kencang: Po... Pocong! Panji melangkah mundur dengan gemetar. Jantung Panji berdegup kencang! Di atas pegangan tangan ternyata ada pocong ukuran mini bergelantungan.

Ketika melihat ke seluruh pegangan di kereta. Pocong-pocong kecil bergelantungan dimana-mana. Matanya menatap tajam ke arah Panji. Tiba-tiba terdengar suara tawa serempak: hi... hi.... hi... Bulu kuduk Panji langsung berdiri. Rasanya ia terjebak dalam gerbong berhantu.

Panji bergegas menuju pintu persambungan untuk menyelamatkan diri. Ia berniat pindah ke gerbong sebelah. Panji bernafas lega saat melihat pegangan tangan di gerbong sebelah tak ada pocong bergelantungan. Sial! Pintu kereta terkunci. Panji berteriak mengedor-gedor pintu. Di gerbong sebelah penumpang nampak asyik dengan beragam kesibukan. Mereka tak mendengar suara teriakan: “Tolong.... ada pocong!”   

Panji bergerak ke arah pintu keluar. Sebentar lagi kereta akan berhenti di Stasiun Pasar Minggu Baru. Begitu pintu terbuka, Panji akan meloncat keluar. Namun mendadak lampu kereta padam. Cahaya dari luar dan gerbong sebelah membuat gerbong tujuh remang-remang.

Penumpang yang duduk serentak menoleh ke arah Panji. Ternyata semua penumpang mengenakan baju putih. Wajah mereka pucat dengan tatapan mata kosong.  Dari ujung bibir meleleh cairan berwarna merah. Tangan mereka bergerak pelan seperti menggapai dan mencakar sesuatu.

Tubuh Panji gemetar hebat. Cairan hangat terasa membasahi celana dalamnya. Pasti ia kencing di celana. Mulutnya terkunci, seperti ada tangan-tangan gaib yang membungkamnya. Panji merapatkan punggung ke pintu kereta. Jika nanti pintu kereta terbuka, ia bisa lekas melarikan diri. 

Saat kereta memasuki Stasiun Pasar Minggu Baru. Penumpang berwajah seram berdiri dan berjalan perlahan ke arahnya. Jantung Panji berdetak kencang. Ia berusaha menguatkan diri keluar dari kereta. Sebentar lagi pintu akan terbuka.

Kereta perlahan berhenti. Beberapa penumpang berwajah seram berdiri dan mendekat. Pintu kereta tak juga terbuka. Dari gerbong sebelah, terdengar suara pintu terbuka. Mengapa pintu gerbong ini tidak terbuka? Jantung Panji seakan berhenti berdetak. Ia mengedor-gedor pintu kereta. Di luar seseorang menendang pintu karena tidak bisa masuk ke dalam kereta. Gila! Aku saja sedang berusaha untuk keluar.

Panji membalikkan tubuh. Ia terkesiap karena penumpang-penumpang berwajah seram mengepungnya. Lutut Panji mendadak lemas. Panji jatuh terduduk. "Pergi... Jangan nganggu aku!" teriak Panji. Tawa keras memenuhi gerbong. Hi... hi... hi... hi...

Tiba-tiba salah satu penumpang berwajah seram mencabut belati. Dengan santai, sosok seram itu menjilati darah yang berlumuran di belati. Sementara sosok seram lainnya hanya tertawa dengan tangan berusaha meraih tubuh Panji. Ya Tuhan tolonglah hambaMu ini, batin Panji meratap.

Sosok seram itu mengangkat belati, Panji tertunduk dengan kedua tangan menutupi wajah. Ia hanya bisa pasrah. Beberapa saat, tak terjadi apa-apa. Hanya tetesan cairan terasa membasahi tangannya. Ketika Panji menurunkan tangan, nampak cairan berwarna merah semerah darah.

Tubuh Panji seketika lemas. Belati itu terayun ke arahnya. Kesadaran Panji melayang diiringi derai tawa. Hi... hi... hi... hi...

--- oOo ---

Saat membuka mata, Panji mendapati bidadari-bidadari berbaju putih mengerumuninya. "Apakah aku berada di surga?" tanya Panji pada seorang bidadari yang lembut menyeka keringat di dahinya. "Syukurlah kamu sudah siuman," kata sang bidadari.

Senyuman itu membuat hati Panji meleleh. Ingin sekali ia mengenggam tangan sang bidadari dan merayu, "Maukah engkau menjadi kekasih hatiku?" Khalayan itu seketika buyar saat pocong-pocong kecil bergelantungan memasuki pandangannya. Peristiwa horor kembali merasuki ingatannya. Ternyata ia masih berada di dalam kereta hantu.

Panji bangkit dan hendak berlalu. "Tenang dulu Mas! Anda berada di kereta yang kami desain khusus untuk promo film Hantu Gerbong Tujuh. Anda termasuk penumpang beruntung karena bisa merasakan langsung thriller film horor ini," kata seorang perempuan yang menyibak kerumunan bidadari.

Gila! Jadi aku hanya korban promo film horor. "Beruntung apanya? Tahu nggak, saya hampir mati berdiri," protes Panji.

"Untuk itu Anda berhak mendapatkan tiket nonton gratis untuk dua orang, smartphone, poster dan bingkisan lain. Jangan lupa ajak teman-temannya nonton ya."

Perasaan trauma dan gembira campur aduk dalam hati Panji. Sesi foto penyerahan hadiah di gerbong tujuh dijalani dengan tubuh lemas tanpa ekspresi. Untung ada para bidadari pengobat hati. Namun tiba-tiba terbersit tanya, kemana sosok-sosok seram tadi?

---oOo ---

Sesampainya di rumah, Panji langsung menghempaskan tubuh di atas ranjang. Perhatiannya langsung tertuju ke bingkisan. Poster, stiker, dan merchandisefilm Hantu Gerbong Tujuh dicampakkan ke tempat sampah. Benda-benda itu hanya membuat trauma.

Satu-satunya benda yang menarik tentu saja smartphone merek terkenal. Panji segera membuka segel yang ada di bungkus. Inilah hadiah pelipur lara. Sudah lama ia bermimpi bisa memiliki handphone mahal itu.  

Ketika bungkusan terbuka mata Panji terbelalak. Jantungnya berdetak kencang. Secara refleks, kardus itu dilemparkan ke lantai.  Daun-daun kamboja, kain kafan, dan sebuah pocong mini berserakan.

--- oOo ---

Depok, 2015 - 2017

*SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun