Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Nganufacturing Hope: Nonton Bareng di Peron Stasiun

20 Juni 2012   04:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:45 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Ketika sedang asyik menikmati senja di peron Pasar Minggu, seorang pedagang koran menghampiri saya. "Indopos seribu," katanya. Saya terkejut, koran nasional milik saya itu hanya dijual seribu? Bukannya harganya tiga ribu lima ratus. Ah, mungkin ini sudah sore, jadi pedagang mengobralnya.

Saya pun lantas membeli koran itu. Ternyata ada cap di bagian atas halaman depan, "Rp 1000 Khusus Kereta." Ternyata strategi itu diterapkan juga untuk media massa cetak lain. Sepertinya, ketika dijual di dalam kereta, koran bisa mengukur kemampuan pembeli yang sebagian besar rakyat menengah ke bawah, hingga menurunkan harga dirinya.

Tak hanya koran, ternyata banyak barang-barang lain yang dijual lebih murah dibandingkan harga di luar stasiun. Mungkin ini juga termasuk strategi marketing untuk menguasai pangsa pasar. Kalau di stasiun harga-harga jadi tahu diri, maka perlu dipertanyakan jika kereta pengin jual mahal.

Untung saya sedang menyamar, hingga tidak ada yang tahu bahwa seorang menteri sedang kelayaban di stasiun. Sebenarnya saya hanya ingin mengecek, benarkah peron stasiun pasar minggu sudah steril dari lapak pedagang.

Ternyata dari bincang-bincang dengan penumpang kereta, sterilnya masih temporary. Jadi siang hari peron kosong, tapi ketika menjelang magrib, para pedagang bermigrasi dari pinggir stasiun ke peron. Dan sekarang, saya mencium aroma tahu goreng di sela-sela suara mendayu-dayu Ayu Ting Ting dari lapak VCD. "Kemana.. kemana... kemana."

Kadang saya berfikir, bagaimana kalau keberadaan pedagang itu ditata secara rapi hingga menjadi keunikan sebuah stasiun. Tentu saja dengan stand yang rapi dan ramping, dengan cat warna-warni. Jangan ada kompor menyala dan perabotan segede bagong. Cukup makanan atau minuman yang sudah matang. Tapi ini baru sebatas pemikiran saja.

Saya menatap kompor yang menyala dan mendidikan minyak di pengorengan. Sambil menunggu gorengan matang, si penjual nampak mencuci piring. Peron nampak seperti dapur umum saja. Belum lagi sampah yang dibuang sembarangan. Mungkin inilah yang menyebabkan orang sering mengeluh bahwa peron terlihat kumuh.

Tapi penumpang terlihat lahap memakan gorengan atau minum kopi. Di sela-sela waktu menunggu, kehadiran pedagang sepertinya dibutuhkan juga oleh penumpang. Tapi di atas ada tulisan peringatan: Dilarang Berjualan, Area Khusus Penumpang. Sepertinya ini masalah berat yang harus dipecahkan. Sepertinya saya harus lebih banyak klayaban di stasiun agar mengetahui akar masalahnya.

Tiba-tiba krl ekonomi yang penuh sesak memasuki peron. Beberapa ataper tampak berteriak ke arah pedagang asongan. Dengan sigap si pedagang melayani permintaan ataper: air mineral dan gorengan. Serupa layanan drive thru.

Beberapa gerbong terlihat gelap tanpa penerangan. Ketika saya tanya ke penumpang, katanya gerbong gelap itu fenonema lama. Di peron ini tiba-tiba saya menemukan salah satu kegagalan ketika menjabat sebagai Dirut PLN. Buktinya memberi penerangan pada kereta yang wira-wiri di membelah jantung ibukota saja tak bisa. Semoga saya bisa menebus kegagalan tersebut.

Ketika kereta berlalu, saya membuka lembaran koran. Di bagian atas cover ada tulisan Manufacturing Hope yang rutin saya tulis. Di bagian bawah tampak foto ketua partai besar dan beberapa politisi sedang nonton bareng film "Soegija". Rupanya nonton bareng sedang ngetren. Selain film "Soegija", wapres nampak menggelar nonton bareng film "Di Timur Matahari."

Tiba-tiba saya berfikir untuk menggelar nonton bareng juga. Saya ingin mengajak beberapa petinggi PT KA dan dirjen perkeretaapian untuk nongkrong bareng di beberapa peron stasiun. Tentu saja dengan menyamar. Di peron stasiun kita akan melihat true story kehidupan rakyat yang tercermin dalam sesak kereta. Sambil nonton kita akan membicarakan dan mencarikan solusi tepat.

Malam semakin matang, pedagang koran tak lelah berteriak, "Pembaruan terbit seribu harapan." Saya tersenyum, mungkin pedagang koran itu seorang filsuf, memang dengan langkah pembaruan akan terbit seribu harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun