Mohon tunggu...
Setia Rini Arista
Setia Rini Arista Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif Program Studi Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya

Salah satu penulis buku Fintech Syariah Teori Dan Terapan Menelaah Teori, Model Bisnis, Dan Keuangan Syariah Di Era Revolusi Industri 4.0 Edisi Revisi Memiliki ketertarikan di bidang kepenulisan ilmiah dan keuangan syariah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RUU KIA Merugikan?

12 Juli 2023   21:32 Diperbarui: 12 Juli 2023   21:35 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI, Pengambilan Keputusan atas hasil harmonisasi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA)  Juni 2022 menyepakati bahwa RUU KIA akan dibahas dalam Sidang Paripurna DPR yang akan datang bersama dengan Pemerintah

Jika benar Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) ini bukan hanya sekedar rancangan dan akan disahkan menjadi Undang-Undang, akankah perusahaan merasa dirugikan secara finansial ?

Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang diusulkan pada 17 Desember 2019 atas inisiatif dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini telah masuk dalam Prolegnas 2020-2024. Setelah disepakati untuk dibahas dalam Sidang Paripurna DPR yang akan datang bersama pemerintah, RUU KIA kini bukan hanya sekedar inisiatif yang dikemukakan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun menjadi inisiatif Baleg DPR RI.

Sesuai dengan namanya, RUU KIA ini sebagai upaya mewujudkan sistem penyelenggaraan Kesejahteraan Ibu dan Anak yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan, mewujudkan sumber daya manusia yang unggul, meningkatkan kualitas hidup Ibu dan Anak yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin.

Puan Maharani Ketua DPR RI dalam Gebyar Inovasi Pelayanan Rakyat untuk Menghindari Stunting di Sekolah Partai PDIP Jakarta, menyampaikan bahwasannya DPR RI sedang memperjuangkan RUU KIA.

Dalam penyampaiannya tersebut, terdapat rancangan bahwa cuti bagi ibu hamil dari maksimal 3 bulan sesuai Undang-Undang yang ada menjadi minimal 6 bulan, sehingga nantinya seorang ibu dan anaknya akan terjalin kedekatan yang lebih dan untuk ibu dapat lebih efektif dalam memberikan ASI eksklusifnya. Hal ini diharapkan menurunkan angka stunting yang terjadi di Indonesia di tahun 2024 mendatang dan mewujudkan sumber daya manusia yang unggul menuju Indonesia emas.

Nampaknya RUU KIA ini melompati aturan yang telah ada yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, pekerja perempuan yang hamil mendapatkan jatah cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelahnya. Secara akumulatif durasinya mencapai tiga bulan sehingga perlu adanya tinjauan kembali agar aturan satu sama lain tidak saling tumpang tindih.

Jika dilihat dengan sekilas RUU KIA sangat berprogress untuk kesehatan seorang ibu dan anaknya sehingga itu menjadi dampak positif yang akan dituai.

Namun jika dilihat lebih lanjut, keberpihakan RUU KIA terhadap tenaga kerja perempuan nantinya akan memberikan efek negatif pada perusahaan juga pada tenaga kerja perempuan itu sendiri.

Jika memang benar akan disahkan menjadi Undang-Undang, dampak bagi perusahaan berupa peningkatan biaya variabel dan total produksi, penurunan produktivitas perusahaan dan dampak negatif bagi tenaga kerja perempuan berupa kesempitan ruang gerak karier mereka.

Peningkatan biaya total produksi ini diasumsikan dikarenakan sesuai dengan RUU KIA ini, tenaga kerja perempuan akan tetap mendapatkan gaji sebesar 100% di tiga bulan pertama cuti melahirkan dan sebesar 70% di tiga bulan terakhir cuti melahirkan.

Peningkatan biaya total yang terjadi ini akan menjadi sebuah ancaman finansial sebuah perusahaan. Pasalnya tidak semua perusahaan itu mampu secara finansial jika memang RUU KIA ini disahkan, apalagi bagi perusahaan muda yang baru berkembang. Mereka baru saja merintis, namun sudah dihadapkan dengan RUU yang tidak berpihak kepada mereka.

Kemudian efek negatifnya untuk perusahaan berupa penurunan produktivitas tenaga kerja perempuan di dalam perusahaan yang akan berimplikasi langsung terhadap produktivitas perusahaan secara keseluruhan.

Produktivitas tenaga kerja akan berperan penting untuk keberhasilan suatu perusahaan. Produktivitas perlu ditingkatkan secara berkelanjutan agar tetap dapat bersaing dalam perkembangan ekonomi yang semakin maju dan ketatnya persaingan perusahaan saat ini.

Dari keempat faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, salah satunya adalah jenis kelamin dari tenaga kerja tersebut. Secara universal tingkat produktivitas laki-laki lebih tinggi dari perempuan karena memang secara fisik laki-laki lebih kuat dari pada perempuan dan juga faktor biologis dalam perempuan yaitu harus cuti saat melahirkan juga menunjukkan produktivitas laki-laki lebih tinggi.

Cuti melahirkan bagi tenaga kerja perempuan itu memiliki dampak negatif bagi perusahaan. Perusahaan harus tetap membayar tenaga kerja (input) sedangkan perusahaan tidak mendapatkan output, berarti cuti menurunkan produktivitas tenaga kerja itu sendiri dan dampaknya pada penurunan produktivitas perusahaan.

Jika memang benar RUU KIA akan direalisasikan, maka akan menambah sempit ruang gerak seorang perempuan dalam hal pekerjaan atau karier dan diskriminasi terhadapnya.

Cuti melahirkan yang berlaku saat ini yaitu selama tiga bulan saja sudah menjadi pertimbangan perusahaan dalam merekrut tenaga kerja karena produktivitasnya lebih rendah dari laki-laki. Tentunya cuti melahirkan yang terdapat dalam (RUU KIA) yaitu selama minimal 6 bulan akan menjadikan para pengusaha ketar-ketir sebab produktivitas tenaga kerja perempuan itu akan semakin rendah dan menurun, karena output yang dihasilkan juga berkaitan dengan waktu yang digunakan.

Hal ini akan menjadi pertimbangan perusahaan jika ingin merekrut tenaga kerja perempuan dan berimbas pada sempitnya ruang gerak karier tenaga kerja perempuan. Selain perusahaan harus memberikan waktu cuti selama minimal 6 bulan, perusahaan juga wajib memberi gaji kepada tenaga kerja perempuan tersebut walaupun mereka tidak memberikan output untuk perusahaan.

Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), sesuai dengan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tingkat tenaga kerja perempuan di tahun 2021 masih dibawah tenaga kerja laki-laki yakni sebesar 36,20 dibandingkan 43,39. Padahal banyak sekali diluaran sana, perempuan yang sedang mencari pekerjaan. Meskipun tidak hanya jenis kelamin yang mempengaruhi tingkat partisipasi kerja tetapi sudah dapat dilihat dan dapat dijadikan bukti bahwasannya tingkat partisipasi kerja perempuan itu masih dibawah laki-laki dan ini disebabkan oleh bagaimana rekrutmen perusahaan terhadap karyawannya karena produktivitas tenaga kerja tersebut berpengaruh terhadap rekrutmen perusahaan, hal ini mengindikasi adanya diskriminasi terhadap tenaga kerja perempuan.

Jika RUU ini direalisasikan, akan berpotensi besar merugikan perusahaan dan menyulitkan perusahaan dalam mencapai prinsip-prinsip produksi yang ada yaitu memaksimalkan output dengan menggunakan input yang tetap dan meminimalkan penggunaan input untuk menghasilkan output yang sama.

Akankah lebih baik bahasan mengenai hak cuti tenaga kerja perempuan ini dijadikan fleksibel artinya pekerja bisa menentukan sendiri berapa lama waktu cuti yang mereka perlukan namun tetap dengan batasan minimal dan maksimal durasi.

Misalnya, minimal 3 bulan dan maksimal 6 bulan sehingga tidak menganggu pertumbuhan kariernya di perusahaan atau membebani terlalu berat tim kerja yang menggantikan pekerjaannya saat cuti. Dan juga memberikan rekomendasi alternatif persentase pembebanan upah dan kewajiban lainnya terhadap perusahaan ketika memberikan izin cuti karena perlu pertimbangan mengenai daya saing perusahaan.

Maka dari itu pemerintah harus mempertimbangkan lagi isi dari Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) ini agar tidak tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada.

Jangan hanya melihat dari satu sudut pandang saja, tetapi lihat juga dari sudut pandang ekonomi dan dampaknya terhadap perusahaan, dimana para pengusaha akan merasa terbebani secara finansial seperti meningkatnya biaya variable dan total produksi yang juga akan berkaitan dengan tidak tercapainya prinsip produksi, juga mengingat bahwasannya tingkat kemampuan finansial suatu perusahaan itu berbeda-beda, apalagi perusahaan yang baru merintis usahanya tentu menjadi pertimbangan dalam perekrutan tenaga kerja perempuan hingga akan mempersempit ruang gerak karier tenaga kerja perempuan dan diskriminasi terhadap tenaga kerja perempuan.

Harapan untuk kedepannya,  ada pertimbangan lebih lanjut dari DPR RI mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) pada poin hak cuti dan kewajiban atau tanggungan perusahaan, jika memang RUU KIA ini akan disahkan maka DPR RI sebagai pencetus dan pemerintah yang turut serta di dalamnya dapat memberikan solusi yang efektif sehingga tidak terindikasi ada

 pihak-pihak yang dirugikan. Amiiin.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun