Misalnya, minimal 3 bulan dan maksimal 6 bulan sehingga tidak menganggu pertumbuhan kariernya di perusahaan atau membebani terlalu berat tim kerja yang menggantikan pekerjaannya saat cuti. Dan juga memberikan rekomendasi alternatif persentase pembebanan upah dan kewajiban lainnya terhadap perusahaan ketika memberikan izin cuti karena perlu pertimbangan mengenai daya saing perusahaan.
Maka dari itu pemerintah harus mempertimbangkan lagi isi dari Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) ini agar tidak tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada.
Jangan hanya melihat dari satu sudut pandang saja, tetapi lihat juga dari sudut pandang ekonomi dan dampaknya terhadap perusahaan, dimana para pengusaha akan merasa terbebani secara finansial seperti meningkatnya biaya variable dan total produksi yang juga akan berkaitan dengan tidak tercapainya prinsip produksi, juga mengingat bahwasannya tingkat kemampuan finansial suatu perusahaan itu berbeda-beda, apalagi perusahaan yang baru merintis usahanya tentu menjadi pertimbangan dalam perekrutan tenaga kerja perempuan hingga akan mempersempit ruang gerak karier tenaga kerja perempuan dan diskriminasi terhadap tenaga kerja perempuan.
Harapan untuk kedepannya, Â ada pertimbangan lebih lanjut dari DPR RI mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) pada poin hak cuti dan kewajiban atau tanggungan perusahaan, jika memang RUU KIA ini akan disahkan maka DPR RI sebagai pencetus dan pemerintah yang turut serta di dalamnya dapat memberikan solusi yang efektif sehingga tidak terindikasi ada
 pihak-pihak yang dirugikan. Amiiin.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H