Dalam God Delusion, Richard Dawkins mengatakan bahwa beragama (dan percaya Tuhan) itu adalah hasil indoktrinasi orang tua, dan seterusnya. Sayangnya, tidak seorangpun ateis yang pernah memberikan bukti empirik soal ini. Richard Dawkins sendiri bukanlah seorang peneliti psikologi perkembangan kognitif dan perilaku anak. Tulisan berikut di New Scientist [14 Maret 2012] dapat menjadi dasar fakta-ilmiah untuk menyusun argumentasi membantah pendapat Dawkins.
[caption caption="sumber foto: ebay"]***
Ketika berusia 5 tahun, Wolfgang Amadeus Mozart sudah dapat memainkan tuts dan sudah mulai menyusun karya musiknya sendiri. Mozart adalah “born musician”; dia memiliki bakat alam yang kuat dan hanya membutuhkan sedikit paparan ke musik untuk kemudian menjadi fasih. Sedikit dari kita yang beruntung seperti itu. Musik biasanya harus ditanamkan pada kita melalui pengajaran, pengulangan, dan latihan. Sementara dalam bidang lain, seperti bahasa atau berjalan, hampir semua manusia memiliki bakat alam; kita semua adalah “born speaker” dan “born walkers”. Bagaimana dengan agama? Apakah ia seperti musik atau bahasa?
Berdasarkan riset dalam psikologi perkembangan, antropologi kognitif, dan terutama sains kognitif tentang agama, saya berpendapat bahwa agama hadir pada kita hampir sama alamiahnya seperti bahasa. Mayoritas besar manusia adalah “born believer”, yang secara alamiah akan menganggap bahwa klaim dan penjelasan agama menarik, mudah dipahami, dan dengan fasih menggunakannya. Ketertarikan pada agama ini merupakan by-product evolusioner dari peralatan kognitif biasa yang kita miliki, dan meskipun penelitian-penelitian itu sama sekali tidak berbicara tentang benar-tidaknya klaim agama, ia tetap membantu kita melihat agama dengan cara baru yang menarik.
Segera setelah mereka dilahirkan, bayi-bayi mulai mencoba memahami dunia di sekitar mereka. Ketika mereka melakukan itu, pikiran mereka menunjukkan kecenderungan yang sama. Sejak lahir anak-anak menunjukkan kecenderungan yang stabil dalam hal apa yang mereka perhatikan dan apa yang menarik pikiran mereka. Satu yang terpenting di antaranya adalah bahwa untuk mengenali perbedaan antara obyek-obyek fisik biasa dan “agen”—sesuatu yang dapat bertindak terhadap sekitarnya. Bayi-bayi mengetahui bahwa bola dan buku-buku harus disentuh agar bergerak, sementara “agen” seperti manusia dan binatang dapat menggerakkan diri mereka sendiri.
Karena tingginya social nature kita, kita memberi perhatian khusus kepada agen. Kita sangat tertarik pada penjelasan tentang suatu peristiwa dalam kerangka tindakan agen—peristiwa tertentu yang belum dapat dijelaskan dalam kerangka sebab-akibat yang biasa.
Sebagai contoh, Philippe Rochat dan sejawatnya di Emory University di Atlanta Georgia melakukan serangkaian eksperimen yang menunjukkan bahwa dalam tahun pertama kehidupannya anak-anak membedakan antara gerakan benda-benda biasa dan gerakan agen, bahkan meskipun benda dan agen yang diamati hanya benda lingkaran pipih (disk) animasi komputer. Pada usia 9 bulan, bayi menunjukkan bahwa mereka bukan cuma sensitif mengenai hubungan sebab-akibat di antara kedua disk yang tampak mengejar satu sama lain, mereka juga dapat menyebutkan siapa mengejar siapa (begitu kira-kira). Bayi pertama-tama menonton sebuah disk merah mengejar yang biru atau sebaliknya hingga mereka terbiasa, dengan kata lain sampai bosan. Kemudian peneliti membalikkan peristiwa kejar-kejaran tadi. Bayi-bayi melihat perbedaan itu dan mulai menonton lagi (perception, vol 133. Hal 355)
Banyak eksperimen ini yang yang menggunakan disk animasi yang tidak mirip dengan manusia atau binatang. Bayi tidak membutuhkan seseorang, atau bahkan seekor binatang, untuk hadir agar agensi-nalar mereka bangkit dan bekerja—sebuah titik yang penting bila mereka nanti menerapkan nalar mereka tentang agen kepada tuhan-tuhan yang tidak kelihatan. Bayi juga tampaknya peka terhadap dua fitur penting lain pada agen yang membuat mereka dapat memahami dunia ini sekaligus membuat mereka dapat menerima (receptive) tuhan. Pertama, agen bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan. Dan kedua, mereka tidak perlu kelihatan (visible). Untuk dapat berfungsi dalam kelompok-kelompok sosial, menghindari predator dan menangkap mangsa, kita musti mampu berpikir tentang agen yang tidak dapat kita lihat.
Mudahnya manusia menggunakan nalar berbasis-agen ini tidak berhenti hanya pada masa kanak-kanak. Dalam sebuah eksperimen yang saya lakukan dengan Amanda Johnson dari Calvin College di Grand Rapids, Michigan, kami bertanya pada mahasiswa college untuk menceritakan tindakan mereka ketika menempatkan pengatur bola ke dalam sebuah lobang di sebuah papan. Secara berkala sebuah elektromagnet akan membuat pengatur bola tadi bergerak berbeda arah dari yang diharapkan. Hampir dua pertiga mahasiswa secara spontan kemudian merujukkan pengatur bola itu seolah-olah ia agen, dengan membuat komentar seperti, “Yang satu ini ga mau diam”, “Oh, lihat yang dua itu berciuman,” dan “Mereka tidak kompak”. (Journal of Cognition and Culture, vol 3, p 208)
Nalar agent yang begitu mudah dipakai dan kecenderungan kuat alamiah untuk mencari agen di dunia sekitar kita ini merupakan bagian dari bangunan yang mengarah pada kepercayaan kepada Tuhan. Sekali nalar ini digabungkan dengan beberapa kecenderungan kognitif lainnya, seperti mencari tujuan, maka ia akan membuat anak-anak sangat mudah menerima agama.
Untuk apakah macan?
Deborah Kelemen dari Boston University telah menunjukkan bahwa sejak masa kanak-kanak kita sangat tertarik pada penjelasan berbasis-tujuan (purpose-based) tentang benda-benda alamiah—mulai dari monyet dan manusia hingga pohon dan gunung es. Anak berusia 4-5 tahun berpikir bahwa lebih masuk akal (sensible) bahwa seekor macan “dibuat untuk makan dan berjalan dan terlihat di kebun binatang” daripada “meskipun macan dapat makan dan berjalan dan terlihat di kebun binatang, tapi bukan untuk itu dia dibuat” (Journal of Cognition and Development, vol 6, hal 3).
Sama dengan itu, ketika berhadapan dengan spekulasi tentang asal dari benda-benda alam, anak-anak sangat mudah menerima penjelasan yang menunjuk pada adanya desain dan tujuan. Nampak lebih masuk akal bagi mereka bahwa binatang dan tanaman ada untuk sebuah alasan daripada bahwa mereka ada tanpa alasan sama sekali. Margaret Evans dari University of Michigan di Ann Arbor menemukan bahwa anak-anak di bawah 10 tahun cenderung memilih penjelasan kreasionis tentang benda-benda hidup dibanding penjelasan evolusioner—bahkan meskipun orang tua dan guru-guru sang anak mendukung evolusi (Cognitive Psychology, vol 42, hal 217). Kelemen juga sudah melakukan eksperimen dengan orang dewasa yang menyiratkan bahwa kita tidak begitu saja meninggalkan ketertarikan pada penjelasan kreasionis ini, karena meninggalkannya harus dipaksa melalui pendidikan formal (Cognition, vol III, hal 138).
Tampaknya kita semua memiliki intuisi bahwa keteraturan dan desain yang kita lihat di dunia sekitar membutuhkan seorang agen untuk membuatnya. Sebuah eksperimen oleh George Newman dari Yale University mendukung pendapat ini. Bayi-bayi berusia 12-13 bulan melihat sebuah bola menghantam susunan balok yang rapi (dikaburkan dengan sebuah penghalang selama hantamannya berlangsung), dan juga melihat sebaliknya ketika bola menghantam sebuah tumpukan balok tak teratur yang kemudian menghasilkan susunan balok yang rapi. Orang dewasa akan langsung melihat sesuatu yang ganjil dalam skenario kedua: bola tidak dapat menyusun balok.
Bayi-bayi juga terkejut, tampak bahwa mereka melihat lebih lama pada animasi kedua. Hal ini menyiratkan bahwa bayi menemukan bahwa peristiwa sebuah bola menciptakan keteraturan jauh lebih mengejutkan daripada peristiwa sebuah bola menciptakan kekacauan. Yang lebih menarik lagi adalah eksperimen kedua. Di sini, sebuah obyek berbentuk bola yang memiliki sebuah wajah bergerak dengan tujuan jelas di belakang penghalang dan kemudian menyusun atau menghancurkan balok. Dalam kedua kasus ini, bayi-bayi tidak menunjukkan keterkejutan yang lebih (Proceedings of the National Academy of Sciences, vol 107, hal 17140)
Penjelasan yang paling sederhana adalah bahwa bayi memiliki intusi yang sama dengan orang dewasa: manusia, binatang, tuhan-tuhan, atau agen lain dapat menciptakan keteraturan atau kekacauan, tetapi non-agen, seperti badai dan bola yang menggelinding hanya menciptakan kekacauan. Tentu saja tuhan-tuhan tidak hanya menciptakan atau mengatur dunia alamiah, mereka secara tipikal memiliki kekuatan super: pengetahuan super, persepsi super dan keabadian. Benarkah bahwa properti tuhan seperti ini—karena mereka memang berbeda dan melebihi kemampuan manusia—sulit diadopsi oleh anak-anak?
Justru sebaliknya yang terjadi. Dalam serangkaian studi oleh peneliti lain, anak-anak tampaknya menganggap bahwa semua agen memiliki pengetahuan super, persepsi super, dan keabadian hingga mereka mempelajari yang sebaliknya.
Sebagai contoh, dalam sebuah riset di Mexico yang dipimpin oleh Nicola Knight dari University of Oxford. Kepada anak-anak suku Maya dari usia 4-7 tahun ditunjukkan gourd (sejenis labu) yang biasanya menyimpan tortilla (roti tipis khas Meksiko). Dalam keadaan tertutup, peneliti bertanya pada anak-anak tersebut apa yang ada di dalam gourd. Setelah mereka menjawab “tortilla”, kepada mereka kemudian ditunjukkan (dan ini mengejutkan mereka) bahwa sebenarnya isinya adalah celana tinju. Peneliti kemudian menutup lagi gourd tersebut dan bertanya apakah berbagai macam agen akan mengetahui apa yang ada di dalam.
Agen-agen itu termasuk dewa Katolik, dikenal bernama Dyloos, Dewa Matahari Maya, hantu-hantu hutan, makhluk monster yang dipanggil Chiichi, dan manusia. Dalam budaya Maya, Dlyoos melihat dan mengetahui segala sesuatu, Dewa Matahari mengetahui apa yang terjadi di bawah matahari, hantu hutan pengetahuannya terbatas pada hutan dan Chiichi hanya untuk menakut-nakuti. Anak-anak termuda menjawab bahwa semua agen mengetahui apa yang ada di dalam gourd. Mayoritas yang berusia 7 tahun berpikir bahwa Dlyoos akan tahu bahwa isi gourd adalah celana tinju tetapi manusia akan berpikir bahwa isinya adalah tortilla. Mereka juga sensitif terhadap perbedaan tingkat pengetahuan agen-agen supernatural lainnya (Journal of Cognition and Culture, vol 8 hal 235). Hal yang sama juga ditemukan di anak-anak Albania, Israel, Inggris, dan Amerika.
Saya bisa saja salah, tetapi interpretasi saya terhadap temuan ini adalah bahwa anak-anak kecil lebih mudah berasumsi bahwa orang lain tahu, merasakan (sense) dan mengingat segalanya dibanding memikirkan siapa yang tahu, merasakan, dan mengingat apa. Posisi default mereka adalah adanya kekuatan super hingga pengajaran atau pengalaman memberitahu mereka hal yang sebaliknya.
Asumsi ini berhubungan dengan perkembangan apa yang disebut “theory of mind”, yang berkaitan dengan pemahaman kita tentang pikiran, persepsi, keinginan, dan perasaan orang lain. Theory of Mind penting untuk menjalankan fungsi sosial tetapi membutuhkan waktu untuk berkembang. Beberapa anak berusia 3 dan 4 tahun dengan sederhana berasumsi bahwa orang lain memiliki pengetahuan yang komplit dan akurat tentang dunia.
Pola yang sama juga terlihat pada pemahaman anak-anak tentang tidak terhindarkannya kematian. Penelitian-penelitian oleh rekan kerja saya Emily Burdett di University of Oxford menyiratkan bahwa asumsi default mereka adalah orang lain hidup abadi.
Temuan bahwa anak Maya berusia muda yang berpikir bahwa semua dewa akan tahu apa yang ada di dalam gourd juga penting untuk alasan lain: sekadar indoktrinasi tidak akan dapat melakukan itu. Apapun yang dikatakan sebagian orang, anak-anak tidak perlu diindoktrinasi untuk percaya pada tuhan. Mereka secara alamiah akan tertarik pada ide itu. Pemahaman saya adalah bahwa berbagai fitur perkembangan pikiran—ketertarikan kepada penjelasan berbasis-agen, kecenderungan untuk menjelaskan dunia alamiah dalam kerangka desain dan tujuan, asumsi bahwa orang lain memiliki kekuatan super—membuat anak-anak secara alamiah akan sangat reseptif terhadap ide bahwa mungkin ada satu atau lebih tuhan yang mengurusi dunia di sekitar mereka.
Adalah penting untuk dicatat bahwa konsep agama ini menyisih dari kepercayaan-kepercayaan teologis. Anak-anak terlahir sebagai “born believer” bukan dalam Kristianitas, Islam, atau teologi lainnya, tetapi apa yang saya sebut sebagai “Natural Religion”. Mereka memiliki kecenderungan alamiah yang kuat terhadap agama, tetapi kecenderungan ini tidak secara otomatis membuat mereka bergerak menuju satu kepercayaan agama apapun. Yang terjadi adalah, bagaimana pikiran memecahkan masalah menghasilkan sebuah ruang konseptual berbentuk-tuhan yang menunggu untuk diisi oleh detail-detail budaya di mana mereka dilahirkan.
Justin L. Barret adalah Direktur Thrive Center for Human Development di Fuller Theological Seminary di Pasadena, California
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H