Temuan bahwa anak Maya berusia muda yang berpikir bahwa semua dewa akan tahu apa yang ada di dalam gourd juga penting untuk alasan lain: sekadar indoktrinasi tidak akan dapat melakukan itu. Apapun yang dikatakan sebagian orang, anak-anak tidak perlu diindoktrinasi untuk percaya pada tuhan. Mereka secara alamiah akan tertarik pada ide itu. Pemahaman saya adalah bahwa berbagai fitur perkembangan pikiran—ketertarikan kepada penjelasan berbasis-agen, kecenderungan untuk menjelaskan dunia alamiah dalam kerangka desain dan tujuan, asumsi bahwa orang lain memiliki kekuatan super—membuat anak-anak secara alamiah akan sangat reseptif terhadap ide bahwa mungkin ada satu atau lebih tuhan yang mengurusi dunia di sekitar mereka.
Adalah penting untuk dicatat bahwa konsep agama ini menyisih dari kepercayaan-kepercayaan teologis. Anak-anak terlahir sebagai “born believer” bukan dalam Kristianitas, Islam, atau teologi lainnya, tetapi apa yang saya sebut sebagai “Natural Religion”. Mereka memiliki kecenderungan alamiah yang kuat terhadap agama, tetapi kecenderungan ini tidak secara otomatis membuat mereka bergerak menuju satu kepercayaan agama apapun. Yang terjadi adalah, bagaimana pikiran memecahkan masalah menghasilkan sebuah ruang konseptual berbentuk-tuhan yang menunggu untuk diisi oleh detail-detail budaya di mana mereka dilahirkan.
Justin L. Barret adalah Direktur Thrive Center for Human Development di Fuller Theological Seminary di Pasadena, California
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI