Mohon tunggu...
Servatia Pradinda Renatamagani
Servatia Pradinda Renatamagani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Kedokteran Gigi Universitas Airlangga

Saya senang membagikan pikiran saya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Otomatisasi AI: Inovasi atau Disrupsi Bagi Pasar Kerja?

8 Oktober 2023   15:34 Diperbarui: 8 Oktober 2023   16:05 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AI Meroket, Mengapa? 

Pada zaman serba digital ini, tentu Anda tidak asing lagi dengan adanya kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). AI adalah teknologi komputer yang diciptakan untuk meniru kemampuan intelektual manusia. 

Gagasan AI sudah dikembangkan sejak abad ke-20 lalu. Bahkan pada tahun 1980an pernah muncul AI boom di mana gagasan AI mulai dikenal luas terutama di negara asalnya, Amerika Serikat. 

Meski sesaat, perkembangan AI juga sempat mengalami 'musim dingin' ketika pendanaan dan minat terhadap penelitian AI berkurang. Namun pada tahun-tahun dingin tersebut, segelintir ilmuwan dan teknisi komputasi bekerja mengembangkan AI hingga pada tahun 2023 ini penggunaan AI mencapai klimaks-nya.

Perkembangan AI tersebut didukung oleh jumlah pengguna akses internet. Perkembangan AI di Indonesia terbilang cukup signifikan karena pengguna akses internet berjumlah banyak. 

Tahun 2020 kemarin, tercatat lebih dari 70% populasi masyarakat Indonesia yang menggunakan pengguna akses internet. Pengguna akses internet berasal dari semua usia dan kalangan. Mayoritas pengguna akses internet berusia 25 hingga 49 tahun yang merupakan usia produktif atau usai pekerja.

Mestinya, AI sebagai inovasi terbaru yang berjalinan dan bersangkutan dengan sebagian besar generasi produktif mampu berdampak positif pada pasar kerja. AI berdampak pada tingkat perekrutan pekerja dan tingkat pengangguran di Indonesia. Ada kekhawatiran tertentu tentang AI menggantikan peran manusia di pasar kerja. Namun, apakah benar demikian?


AI Sukses Mengubah Generasi Muda menjadi Generasi Stroberi

Generasi stroberi atau strawberry generation adalah istilah yang dipakai orang Taiwan untuk menyebut generasi setelah tahun 1981. Buah stroberi menjadi gambaran bagai generasi yang eksotik nampaknya, namun mudah hancur bila terbentur atau terinjak. 

Generasi stroberi dianggap sebagai generasi yang kelihatannya dipenuhi ide-ide kreatif tetapi mudah menyerah dan tidak tahan terhadap tekanan sosial. Generasi ini mendapat stigma buruk di mata masyarakat, lantaran generasi stroberi mudah depresi, sedih, dan stres karena tidak memiliki ketahanan mental dan emosional. Generasi stroberi juga dikenal memiliki ketergantungan teknologi.

Berbicara tentang moralitas generasi muda, stigma tersebut memang benar adanya. Mengingat bahwa teknologi mampu membawa dampak buruk bila pemakai ketergantungan. 

Anda bisa melihat jelas contoh generasi muda yang saat ini duduk di bangku sekolah. Penyalahgunaan teknologi AI seperti plagiarisme, manipulasi, dan disinformasi merupakan alasan mengapa moral generasi muda menurun. 

Jika Anda seorang yang duduk atau mengajar di bangku sekolah, Anda pasti tak jarang menjumpai para generasi muda menyalahgunakan AI. Bertanya kepada sistem AI saat ulangan ataupun saat menulis skripsi adalah perbuatan yang secara tak langsung menurunkan moral serta kualitas intelektual generasi muda Indonesia.

Melihat perubahan peraturan oleh Mendikbud Ristek  Nomor 53 Tahun 2023 mengenai penghapusan skripsi sebagai syarat wajib kelulusan mahasiswa-mahasiswi tingkat S1 dan D4, muncul banyak sekali pro dan kontra dari berbagai pihak. 

Salah satu tanggapan mengapa skripsi tidak lagi menjadi syarat wajib kelulusan sarjana yakni karena turunnya moral dan kualitas intelektual akibat eksistensi AI yang perlu diperbaiki. 

Teknologi AI mampu menjawab seluruh pertanyaan dengan detail, sehingga para mahasiswa-mahasiswi memanfaatkan AI daripada melatih ketajaman otak mereka.

Nadiem Makarim, dalam peraturan yang baru ini, mengatakan bahwa skripsi tidak wajib menjadi syarat kelulusan dan menggantikan tugas akhir kelulusan sarjana dalam bentuk prototipe, proyek, serta bentuk lainnya baik itu diselesaikan secara individu maupun kelompok. Beliau berkata pada acara Peluncuran Merdeka Belajar Episode 26 bahwa, "Karena ada berbagai macam program, prodi, yang mungkin cara kita menunjukkan kemampuan kompetensinya dengan cara lain. "

Di universitas yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka, peraturan ini bisa dijalankan. Meski ada juga universitas yang masih menggunakan skripsi sebagai syarat wajib kelulusan mereka. Peraturan tersebut ditujukan pada program studi dengan keterampilan praktik yang lebih besar, contohnya program studi teknik sipil dan program studi teknik arsitektur.


Coba Anda Bayangkan, Apa yang Terjadi Jika AI Terus Disalahgunakan?

Mungkin para murid yang duduk di bangku sekolah berpendapat bahwa penyalahgunaan AI tidak berdampak apa-apa pada mereka. Tentu hal ini salah, karena secara tidak sadar ketergantungan teknologi AI (plagiarisme, manipulasi, disinformasi, dan lainnya) mampu menurunkan kemampuan berpikir kritis dan problem solving mereka. 

Padahal kedua kemampuan tersebut penting untuk dikembangkan karena akan berguna saat generasi muda terlibat di pasar kerja. Ada kekhawatiran tersendiri, mengingat generasi muda adalah siapa yang membentuk karakter bangsa Indonesia.

 

Sumber: Detik.com
Sumber: Detik.com

Anak Muda Pengangguran, Apakah Ini Pengaruh AI?

Pengangguran adalah hal yang pasti tak asing di mata Anda. Kerap kali kita jumpai orang yang berumur produktif, dalam fisik yang sehat, dan berpendidikan tinggi namun pengangguran. 

Salah satu faktor yang memengaruhi angka perekrutan pekerja yakni otomatisasi AI. Otomatisasi AI memang membawa banyak sekali keuntungan bagi pemilik bisnis mulai dari produktivitas, efisiensi waktu hingga keterampilan yang tinggi. AI juga mampu memberi analisis data yang dinilai lebih akurat untuk membantu mengambil keputusan bisnis. Masih banyak lagi keuntungan otomatisasi AI di dunia kerja.

Di sisi lain, otomatisasi AI perlahan menggantikan peran manusia sehingga perekrutan pekerja menurun. Pemilik bisnis menanam sistem AI dengan tujuan mendapatkan untung lebih banyak. Mesin AI dianggap lebih praktis dan teliti dibandingkan mempekerjakan manusia. Otomatisasi AI adalah disrupsi besar bagi pasar kerja, terutama bagi calon pekerja.


Lantas, Apa yang Bisa Dilakukan?

Adanya ketergantungan internet membuat generasi muda menjadi tak tahan terhadap tekanan mental dan emosional. AI menjadikan semuanya serba ada dan serba bisa. 

Hal inilah yang menjadikan kemampuan berpikir kritis dan problem-solving generasi muda tumpul. Di sisi lain, perkembangan AI yang makin pesat perlahan menggantikan peran manusia di pasar kerja. Kedua hal tersebut mengakibatkan jumlah pengangguran di Indonesia meningkat. Sebaiknya hal yang harus dilakukan pemerintah adalah mengontrol penggunaan AI, terutama di bidang pendidikan dan bisnis.

Untuk menjadikan generasi penerus bangsa yang produktif dan berintelektual tinggi, pemerintah harus mengadakan pembatasan penggunaan teknologi AI yang berpotensi disalahgunakan. Generasi muda yang produktif dan berintelektual tinggi akan menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia. 

Langkah yang diambil Menteri Nadiem Makarim benar. Meski beliau tidak secara langsung berpendapat bahwa ini adalah bentuk pembatasan keterlibatan teknologi AI, namun peraturan ini berdampak positif agar penyalahgunaan AI menurun. 

Selain skripsi, kompetensi para calon sarjana di beberapa prodi bisa diuji dengan cara yang meminimalisasi penggunaan teknologi AI dan penilaian sepenuhnya berdasarkan kreativitas calon sarjana.

Pembatasan juga diperuntukan bagi pemilik bisnis agar tidak berlebihan mengimplementasikan otomatisasi AI agar pasar kerja bisa berputar. Meski otomatisasi AI mengurangi kesalahan manusia, tidak semua pekerjaan bisa digantikan AI. Peran manusia tetap dibutuhkan dalam operasional bisnis. Komponen-komponen seperti ide-ide kreatif, pemikiran kritis, dan empati adalah hal-hal yang tidak ada pada AI. 

Jika tidak ada perekrutan pekerja manusia, maka pengangguran akan meningkat. Peningkatan pengangguran akan beralih pada peningkatan kemiskinan di Indonesia. Maka dari itu, harus ada keseimbangan antara implementasi AI dan rekrutmen pekerja manusia. Sudah seharusnya kita beralih mengontrol AI, bukan AI yang mengontrol kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun