Langit serasa runtuh. Mengapa tidak.! Hanya ada dua pilihan. Apakah mati sebagai lelaki yang menggenapi kodrat Ilahi, ataukah hidup dalam kubangan lara.
Menakung jiwaku dalam kesia – siaan. Kehampaan menggerogoti setiap sesumbar yang membatin. Aku tak berdaya. Jika ada sebutir peluru yang mengarah ke sukmaku, aku telah pasrah. Hanya dengan kepasrahan ini pula aku berserah. Terkadang segala ungkap yang menisbikan setiap amuk kata yang keluar dari iga – iga suaraku.
“Tuhan,,,mengapa setega ini Engkau mengurapi aku dengan pencobaan ini!”
Dengungku ini setiap kala menjadi dosa yang tak terampuni. Jika itu adalah sebuah hujatan kepada Sang Khalik Semesta Alam. Aku tiada memperhatikan lagi dosa. Sejatinya aku adalah lelaki yang sempurnah. Seperti mereka yang ingin memiliki keluarga, keluarga kecil sudah cukup lumayan untuk membangun apa yang aku idamkan. Lalu, aku seperti ini?
Aku bagaikan sampah. Sampah masih saja dapat diolah untuk menjadi sesuatu yang berfaedah bagi semua mahluk hidup.
“Tidaaaaaaaaaakk,,!” Jeritan ini hampir setiap detik keluar dari seluruh penjuru batinku. Suaraku tertahan di ujung tenggorokan. Tak terungkap menjadi sebuah lolongan panjang, bagai seekor serigala yang terluka akibat jeratan para pemburu liar di padang belantara. Hanya organ – organ tubuhku yang maha tahu segala teriakan kepiluan ini.
“Jangan terlalu bersedih, nak. Jalanmu masih panjang. Masih banyak jalan menuju Roma. Engaku pasti bisa, Joni!”
Bagai petir yang menggelegar di telingaku. Ketika segala ungkap ayahku untuk menghiburku. Dia tidak tahu apa yang sedang kecamuk dalam bibir – bibir jiwaku. Semisalnya dosa yang tiada berampun, mungkin saja aku segera memutilasi ucapannya. Aku hanya mengatup mulutku untuk tidak membuat sebuah dosa lagi sebagai anak pendurhaka.
Hari – hariku bagai duduk di atas mata pedang yang tersepuh tajam. Aku menjadi mati rasa. Oleh sahabat – sahabatku yang berkunjung menjenguk petiduranku yang ku anggap huma ditengah sawah, dipenuhi riak air telaga yang bening, dan cericicit murai di ranting – ranting yang lapuk.
Kembali aku duduk ditepian ranjang reot yang ketika berbaring membunyikan suara gerisik di telinga. Sambil menunduk terpatung duduk menerawang ke segala ruang dan waktu, aku tak menemukan apa – apa. Hanya selenting lelehan air mata duka yang kuanggap sahabat setiaku.
“Ahhh.... aku telah kalah,,,!”
Tiga bulan telah berlalu atas peristiwa naas itu. Tubuhku terhempas di tepian jalan. Terpelanting jatuh bergulung – gulung pada ruas trotoar. Balapan motor liar itu telah merenggut segala harapanku. Harapan sebagai seorang lelaki yang tangguh. Namun bukan itu yang menjadi kedukaanku yang sangat fatal.
Sebulan terbaring kaku, di usapi tangan tangan – tangan lentik dan halus para perawat cantik. Aku tergolek dengan sesuatu yang tidak sewajaranya. Seharusnya kelaki-lakianku melonjak dengan segala getaran kalbu.
“Phuuuuuaaahhh,,,,,, jangan matikan rasa ini!”
Sesunggukan aku mengenang aroma Posh. Body spray yang keluar dari ketiak perawat Nindy yang membalutkan aku dengan ramuan medis dan memferban bagian selangkanganku yang membuat aku harus berayun dengan tongkat sakti sebagai pengendali jalanku.
Sofie, pacarku hanya menatap dingin dari kejauhan pintu kamar rumah sakit. Seakan cemburu melihat para perawat secara bergilir dan telaten membolak – balikan tubuhku di atas ranjang. Selebihnya itu dua bulan kemudian Sofie tak kunjung jua datang.
“Jon,,, engkau tidak tahu. Sofie sekarang telah mendua hatinya. Dia telah kepergok sedang jalan berduaan dengan Fandy,,,,,.....!”
“Cukup, Edo! Keluar dari kamarku ini!....
Sungguh aku tak berdaya. Degub jantungku berlomba mengejar isak dan ratapku. Aku benar – benar berada di tengah kubangan lara. Mereka, orang – orang yang aku cintai, sebenarnya tidak mengetahui apa yang terjadi pada diriku ini. Mereka hanya mengetahui aku telah sembuh dari kecelakaan itu. Mungkin tinggal pemulihan saja. Dan berharap aku akan kembali ke pentas malam durhaka sebagai penjagal raungan mesin motor yang memecahkan gendang telinga.
Tetapi alangkah terkejutnya aku. Kemarin aku yang garang dengan segala kejantananku berlomba di atas balapan motor liar, kini menjadi orang yang tak berdaya sama sekali. Semua orang begitu peduli denganku. Namun mereka semua tidak tahu sejatinya diriku ini.
Bisikan itu. Sebuah bisikan maut dari dokter Sumiati yang menanganiku. Suara perempuan setengah baya itu sebagai tenaga medis handal, yang menyerupai bisikan suara setan. Suaranya masih terngiang – ngiang sampai detik ini.
“Joni, engkau tak bisa berbuat apa – apa lagi. Aku telah berusaha namun semuanya kembali padamu.!”
“Apa itu, Dok !”
“Salah satu urat penting di selangkanganmu telah putus, akibat benturan kecelakaan itu. Dan itu mempunyai hubungan dengan organ vitalmu!”
“Maksud dokter!”
“Engkau telah divonis,,,,,,, menjadi seorang Impotensia!”
“Oh, Maygaaaaaaadddddd..... Jooniiiiiiiiiii!” Batinku melolong panjang.
@rskp, 28102016....... Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H