Mohon tunggu...
Riecki Serpihan Kelana Pianaung
Riecki Serpihan Kelana Pianaung Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

"Hidup hanya berkelana dari sebuah serpihan untuk "menuju" mati" ____________________________________ @rskp http://www.jendelasastra.com/user/riecki-serpihan-kelana-pianaung https://domainxx.blogspot.co.id/ https://www.youtube.com/watch?v=M11_fpnT5_g&list=PL1k1ft1F9CCobi2FMkdqQ6H4PFFWPT--o&index=2 https://www.evernote.com/Home.action#n=c9ce48a1-38c2-4b2b-b731-c340d3352d42&ses=4&sh=2&sds=5&

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cersil] Pendekar Lembah Tarsius

21 Juli 2016   12:39 Diperbarui: 21 Juli 2016   12:49 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosok bayangan hitam mendayung sampannya di tengah laut. Arahnya menuju sebuah pulau di depan kejoguguan Witung, itulah pulau Lembeh. Hamparan hutan lebat yang menutupi perbukitan. Sosok hitam itu tak lain adalah si Malaikat Hitam, yang berhasil kabur setelah dikalahkan oleh Sense Madunde. Adiknya tewas ditangan pemuda sakti itu. Sembari mendayung sampan kecilnya, tangannya merogoh sesuatu dari balik pakaiannya. Sesaat melihat – lihat sepotong buku yang telah tersobek. Kepalanya celengak- celenguk memandangi pantai dan tanjung – tanjung pulau itu. Ternyata penggalan buku di tangannya merupakan halaman awal dari petunjuk dalam peta rahasia yang menghebohkan rimba persilatan itu, mengarah ke pulau tersebut. Kembali dayungnya berkecipak. Seharian Malaikat Hitam itu mengelilingi pulau tersebut.

Namun dia tidak menyadari kalau Sense Madunde yang mengejarnya dari arah belakang ternyata telah mendaratkan sampannya terlebih dahulu di tepian pantai. Sambil mengikuti dari arah darat di balik – balik pepohonan. Malaikat Hitam merasa pencariannya belum membuahkan hasil, segera ia pun mendaratkan sampannya di atas pasir pantai.

Ketika si Malaikat Hitam itu  menginjakan kakinya di pasir pantai, terkejutnya tak alang kepalang. Ternyata Sense Madunde telah berada di pantai itu sambil tertawa – tawa.

“Ha,ha,ha,ha,,sudah ku bilang. Ke manapun engkau lari, aku akan tetap mengejarmu,” “Segera letakan  penggalan buku itu di atas pasir, lalu segera angkat kaki dari negeri ini.!”

“Huuhh,,pemuda bauh kentut. Kamu kira aku takut terhadapmu, jangan dikira kemarin aku lari karena takut,,,,,,,”

Sebenarnya Malaikat Hitam itu merasa ciut terhadap Sense Madunde. Dia menyadari ilmunya kalah jauh di bawah pemuda ini. Namun tak ada jalan keluar lain selain dia harus bertarung kembali dengan pemuda di depannya ini. Tak habis dia berucap,,segera si Malaikat Hitam menyerang dengan sebelah tangannya kirinya. Sebab tangan kanannya masih terasa sakit akibat terkena hantaman Sense Madunde kemarin.

Sense Madunde segera melayani terjangan si Malaikat Hitam. Dalam beberapa gebrakan saja si Malaikat Hitam telah terdesak. Hingga dalam waktu singkat sebuah tendangan keras mengenai dada si Malaikat Hitam. Sepotong buku yang tersobek itu jatuh menggelinding ke atas pasir. Menyadari posisinya dalam keadaan kritis dan terluka parah, tiba – tiba dengan sisa tenaga yang ada, tubuhnya mencelat ke udara kemudian membuat salto  lalu jatuh ke tengah lautan. Dalam jarak duapuluh kaki, si Malaikat Hitam masih dapat membuat gerakan indah di udara dan lenyap ke dasar laut. Entah masih hidup ataukah telah tewas.

~~~~~~~~~~~~~~~

Sense Madunde mendekati sobekan buku itu. Tangannya meraih sobekan yang lain yang diselipkannya di bagian dada pakaiannya. Dua sobekan buku itu disatukan di atas pasir pantai. Dua sobekan buku itu tiba – tiba menyatu kembali, utuh seperti semula dan  dari dalam buku itu keluar cahaya keemasan. Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalamnya, karena cahaya yang memantul dari buku itu sangat menyilaukan matanya. Perlahan cahaya itu memudar dan hilang. Tak tahan Sense Madunde untuk membuka lembaran awal buku itu, sebuah gambar pulau, ya pulau yang sedang ia pijakan kakinya sekarang. Samar – samar dari gambart pulau itu muncul perlahan – lahan sebuah tulisan dengan huruf yang indah sekali , berbunyi; “ Selarik Jubah Kamamares”.Sehabis membaca kalimat itu, tiba – tiba telinga Sense Madunde lapat – lapat mendengar suara seperti seekor burung rajawali. Suara itu semakin lama semakin jelas terdengar. Lagi – lagi telinganya mendengar suara seekor burung dan suara itu semakin keras seperti suara itu sedang berada di sekitarnya.

Betapa terkejut Sense Madunde. Ternyata di hadapannya berdiri seekor burung rajawali raksasa. Warna bulunya  kuning keemasan, pada sekitar lehernya ada sedikit warna putih. Kepala sang rajawali itu seperti mengangguk – ngangguk jinak. Sense Madunde menahan rasa keterkejutannya.  Dengan posisi berjongkok di atas pasir pantai,  Sense Madunde kembali membuka halaman berikutnya. Pada halaman itu tak ada tulisan lain selain gambar seperti sebuah jubah atau mantel dengan bentuk seperti seekor rajawali.

Sense melihat gelagat burung rajawali itu seperti bersahabat dengannya. Segera tangannya memberi hormat dan salam pada rajawali itu lalu berkata:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun