Mohon tunggu...
Riecki Serpihan Kelana Pianaung
Riecki Serpihan Kelana Pianaung Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

"Hidup hanya berkelana dari sebuah serpihan untuk "menuju" mati" ____________________________________ @rskp http://www.jendelasastra.com/user/riecki-serpihan-kelana-pianaung https://domainxx.blogspot.co.id/ https://www.youtube.com/watch?v=M11_fpnT5_g&list=PL1k1ft1F9CCobi2FMkdqQ6H4PFFWPT--o&index=2 https://www.evernote.com/Home.action#n=c9ce48a1-38c2-4b2b-b731-c340d3352d42&ses=4&sh=2&sds=5&

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kabut Silam Bukit Kintamani

1 Juni 2016   12:46 Diperbarui: 1 Juni 2016   12:59 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.wallcoo.net/cartoon/cg_artwork_wallpapers

Pada sebuah pagi. Pagi yang dingin oleh tanah masih lembab. Sehabis titis embun malam mengguyur wajah bumi dengan titik – titik basah. Dengan perlahan sekali, titik air itu menetes dari daun –daun yang berkeriapan. Jatuh ke tanah –tanah yang kering dan pecah. Partikelnya menyatu dengan akar umbi – umbian. Hingga keesokan harinya, segala jenis tanaman bertunas dengan kuncup yang mekar. Bersemi sepanjang hari.

Angin yang silir semilir menyepoi tubuhku yang terbalut blus merah muda yang telah kusam. Kulitku serasa  mengirik, dibelai. Walaupun pikiranku saat itu bukan pada kedinginan. Tapi bilakah aku bertemu Ibu Ratih. Dia mengajak aku untuk membantu pekerjaan di rumah mereka yang ada di kota. Bukan karena aku bisa dan mampu bekerja. Tapi aku akan dijadikan pembantu oleh Ibu Ratih sekeluarga.

Karena Ibu Ratih kemarin siang datang ke kampungku. Dia sedang mencari seorang pembatu rumah tangga. Kebetulan Ibu Ratih bertemu dengan ibuku. Dengan sedikit pembicaran oleh mereka, aku disetujui dan diterima oleh Ibu Ratih untuk bekerja di rumahnya. Padahal aku sangat berat meninggalkan rumahku. Rumah yang menjadi tempat hunian bagi aku dan ibu. Rumah peninggalan almarhum ayah. Apalagi meninggalkan ibu sendirian.

Pekerjaan ibu juga hampir serupa dengan pekerjaan yang akan aku geluti nanti. Ibu hanya seorang tukang cucian pakaian pada seorang Ko dan Ci disebuah toko di kota kecilku. Aku sungguh kasihan pada ibu. Tetapi ibuku mampu melalui semua pekerjaan itu, seorang diri tanpa ayah disisinya. Upaya ibu dengan membanting tulang memeras keringatnya,  sungguh tak akan terlupakan sepanjang hayat dikandung badan ini.  Sehingga aku   hingga  menyelesaikan  sekolah  sampai tamat SLTA.

“Pergilah, Seruni. Ibu Ratih kelihatannya orang yang baik. Ibu masih bisa bekerja sendirian di sini.” Ibuku berkata  semalam sebelum beranjak ke pembaringan.

“Tetapi Ibu… aku akan selalu teringat Ibu nanti. Bagaimana nanti bila ibu jatuh sakit. Siapa yang akan merawat Ibu nanti!” Jawabku sambil mengejap mataku menahan luapnya air kesedihan.

“Jangan terlalu memikirkan dengan kesedihan,nak! Ibu akan selalu baik – baik. Percayalah Seruni!”

Aku berjalan susuri lorong, setelah mobil angkutan penumpang yang aku naiki tadi dari stasiun 45. Dengan sedikit membuka kertas,  bekas pembungkus rempah yang aku tulis kemarin. Alamat Ibu Ratih; Jalan Kedondong Nomor 5 Gang B Kelurahan Sindulang II. Hingga pada satu tikungan aku melihat pagar putih. Pada tiang gerbangnya tertera angka 5. Halamannya sangat luas. Rumah bercat putih layaknya serupa istana.

Sebagai seorang gadis desa, yang kerap keluguan itu melekat. Tanpa dibuat – buat namun menjadi sebuah pranata sosial dalam sisi – sisi hidup. Dengan ciri khas seperti itu dengan cepat terbaca oleh orang lain.

“Non, mau cari siapa!” seorang petugas pengamanan kompleks perumahan menegur aku.

“E,,maaf pak. Aku mau ketemu ibu, ibu Ratih!” dengan gugup aku menjawab

“Apa sudah ada janjian, sama ibu!”

A,,,aku disuruh datang. Membantu i,,ibu!”

“Ooo…Non Seruni. Yang kemarin ketemu ibu di kampung?”

“Iya,,bapak” Buru – buru aku menjawab.

“Silakan masuk. Mari aku antarin. Kebetulan ibu lagi nunggu non Seruni!” Petugas pengamanan itu mempersilakan masuk lalu dibawahnya  ke dalam rumah yang terbilang mewah itu menemui ibu Ratih.

 Sejak hari itu, hari yang akan memulai dengan sebuah pertarungan. Pertarungan batin. Dikala kesibukan dengan pekerjaan, sedikit terlupakan apa yang menjadi kegundahan. Namun jika malam tiba, pada saat – saat menjelang tidur untuk sebuah mimpi indah yang nantinya akan melintas pada jejak – jejak malam. Kesedihan dicamuk lara yang sungguh membuat bantal gulingku menjadi basah. Oleh linangan yang mengenang sang ibunda tercinta.

Namun perjalanan waktu tak pernah berhenti. Sebuah perjalanan panjang harus aku lewati. Diproses untuk sebuah keyakinan. Keyakinan untuk membahagiakan orang yang paling aku cintai. Atas nama cinta ini, membuat aku bertahan dalam getar getir kehidupan, kehidupan sebagai seorang pembantu rumah tangga.

Ijazah SLTA yang pernah aku sandang, saat itu terkunci dalam almari dengan rapat – rapat. Hampir dua tahun aku melupakan sebuah kertas putih dengan bingkai bercorak-corak itu. Namun kini telah usang termakan waktu. Tanpa dapat dipergunakan walaupun sedikit saja menjadi karyawan pabrik, atau karyawan di mall- mal yang bertebaran di kota – kota. Sia – sia semua jerih payah dari ibuku.

Langit seakan tertawa mengejek. Mencibir dan mengolok – olokku. Seberapa banyak ilmu yang kau serap! Seberapa banyak kucuran keringat ibu yang menyekolakan aku! Aku hanya terdiam serupa arca di kamar kecilku, di bagian  belakang samping dapur. Namun, semua ini adalah panggilan ibu. Ibu yang merestuinya untuk bekerja sebagai pembantu dikeluarga ibu Ratih. Semua kata – kata ibuku, masih terkenang. Kata – kata itu bagai kemarin saja terucapkan.

“Sabar Seruni, semua akan terlampaui jika kita sabar menanggung beban. Ada saat kita untuk menyeka keringat. Ada saat kita duduk berpangku tangan. Ada saat kita berlinang, ada saat pula kita tersenyum. Berdoa untuk sebuah  ketabahan!”

Sedikit keberuntungan. Keluarga ibu Ratih sangat baik hati. Hingga datang pada suatu waktu. Waktu untuk memutuskan  pendakian sebuah puncak gunung. Yang mungkin saja masih ada hambatan. Ada kerikil – kerikil tajam yang akan menghujani tapak – tapak untuk melangkah. Ada batu – batu cadas yang akan memalang ketika kita mengayunkan kaki  kedepan.

Namun, bekal ibuku telah terpatri dalam relung kalbuku. Menjadi sebuah penghias kala nestapa merundung maupun kala riang gembira. Bahkan sebuah amanah untuk sebuah tanggungjawab. Tanggungjawab untuk melangkah dan mempertahankan hidup. Mungkin juga sebuah bekal untuk memacu semangat. Seperti pecut untuk mencemeti sebuah harapan yang membentang didepan.

“Seruni,, benar kamu punya Ijazah SLTA!” Ibu Ratih tiba – tiba berada di belakangku sewaktu aku sedang memasak sayuran buat makan malam ibu Ratih sekeluarga.

“Iya, punya ibu!”jawabku

“Di kantor Bapak membutuhkan tenaga sekertaris. Bapak menanyai  kamu, kalau kamu bersedia!” Lanjut ibu Ratih dengan sikap penuh wibawa.

“Tapi Bu. Pekerjaan saya di sini nantinya terbengkalai”

“Ibu dan bapak sudah pikirkan. Kamu bersedia kan!”

“Bersedia Bu!”

“Besok, ibu akan menjemput ibu kamu menggantikan pekerjaan kamu di sini. Dan kamu mulai besok pagi mulai kerja di kantor bapak, ya Seruni” Suara ibu Ratih terdengar penuh welas asih.

Seperti gong yang menabuh tarian perjuangan. Perjuangan yang selama ini lelap terbelenggu rantai – rantai yang kaku. Seakan belenggu itu lepas seketika. Dalam benakku. Pigura ayah ibuku sedang dalam tersenyum menatapku. Menatap gadis kampung yang belum mengenal atas kicauan sang murai diranting dahan pohon gaharu. Atau berkoar – koar sang Gagak di tanah tandus, yang melihat bangkai – bangkai ternak yang mati kehausan.

Hatiku bagai bersenandung. Dengan kidung merdu menjilati sukmaku. Yang terbang tinggi dipuncak Mahameru. Bersama Rajawali sakti aku memunggunginya. Lalu kembali ke bumi yang ditilam sehamparan sutra. Diselimuti dengan kabut – kabut tipis dari puncak Himalaya. Kabut masa silam. Aku tidak bermimpi. Tapi perjalanan ini masih sangat jauh. Aku ingin segera tiba. Tapi perlahan untuk sebuah kepastian. Ya, kepastian.

“Seruni, kamu melamun!” Arya menepuk punggungku.

“Ah, Arya. Aku menatap kabut di sana itu. Kabut di bukit Kintamani, tempat para peziarah merendai sepi.!”Dengan senyumku sambil membetulkan letak duduk. Berhadapan dengan Arya, teman sekantorku, disebuah kantin

“Nanti liburan kita kesana. Sekarang jam istrahat sudah usai. Kita kembali bekerja!”

******

@rskp, 01062016,,       Jkt.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun