Mohon tunggu...
Riecki Serpihan Kelana Pianaung
Riecki Serpihan Kelana Pianaung Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

"Hidup hanya berkelana dari sebuah serpihan untuk "menuju" mati" ____________________________________ @rskp http://www.jendelasastra.com/user/riecki-serpihan-kelana-pianaung https://domainxx.blogspot.co.id/ https://www.youtube.com/watch?v=M11_fpnT5_g&list=PL1k1ft1F9CCobi2FMkdqQ6H4PFFWPT--o&index=2 https://www.evernote.com/Home.action#n=c9ce48a1-38c2-4b2b-b731-c340d3352d42&ses=4&sh=2&sds=5&

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kabut Silam Bukit Kintamani

1 Juni 2016   12:46 Diperbarui: 1 Juni 2016   12:59 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.wallcoo.net/cartoon/cg_artwork_wallpapers

“Apa sudah ada janjian, sama ibu!”

A,,,aku disuruh datang. Membantu i,,ibu!”

“Ooo…Non Seruni. Yang kemarin ketemu ibu di kampung?”

“Iya,,bapak” Buru – buru aku menjawab.

“Silakan masuk. Mari aku antarin. Kebetulan ibu lagi nunggu non Seruni!” Petugas pengamanan itu mempersilakan masuk lalu dibawahnya  ke dalam rumah yang terbilang mewah itu menemui ibu Ratih.

 Sejak hari itu, hari yang akan memulai dengan sebuah pertarungan. Pertarungan batin. Dikala kesibukan dengan pekerjaan, sedikit terlupakan apa yang menjadi kegundahan. Namun jika malam tiba, pada saat – saat menjelang tidur untuk sebuah mimpi indah yang nantinya akan melintas pada jejak – jejak malam. Kesedihan dicamuk lara yang sungguh membuat bantal gulingku menjadi basah. Oleh linangan yang mengenang sang ibunda tercinta.

Namun perjalanan waktu tak pernah berhenti. Sebuah perjalanan panjang harus aku lewati. Diproses untuk sebuah keyakinan. Keyakinan untuk membahagiakan orang yang paling aku cintai. Atas nama cinta ini, membuat aku bertahan dalam getar getir kehidupan, kehidupan sebagai seorang pembantu rumah tangga.

Ijazah SLTA yang pernah aku sandang, saat itu terkunci dalam almari dengan rapat – rapat. Hampir dua tahun aku melupakan sebuah kertas putih dengan bingkai bercorak-corak itu. Namun kini telah usang termakan waktu. Tanpa dapat dipergunakan walaupun sedikit saja menjadi karyawan pabrik, atau karyawan di mall- mal yang bertebaran di kota – kota. Sia – sia semua jerih payah dari ibuku.

Langit seakan tertawa mengejek. Mencibir dan mengolok – olokku. Seberapa banyak ilmu yang kau serap! Seberapa banyak kucuran keringat ibu yang menyekolakan aku! Aku hanya terdiam serupa arca di kamar kecilku, di bagian  belakang samping dapur. Namun, semua ini adalah panggilan ibu. Ibu yang merestuinya untuk bekerja sebagai pembantu dikeluarga ibu Ratih. Semua kata – kata ibuku, masih terkenang. Kata – kata itu bagai kemarin saja terucapkan.

“Sabar Seruni, semua akan terlampaui jika kita sabar menanggung beban. Ada saat kita untuk menyeka keringat. Ada saat kita duduk berpangku tangan. Ada saat kita berlinang, ada saat pula kita tersenyum. Berdoa untuk sebuah  ketabahan!”

Sedikit keberuntungan. Keluarga ibu Ratih sangat baik hati. Hingga datang pada suatu waktu. Waktu untuk memutuskan  pendakian sebuah puncak gunung. Yang mungkin saja masih ada hambatan. Ada kerikil – kerikil tajam yang akan menghujani tapak – tapak untuk melangkah. Ada batu – batu cadas yang akan memalang ketika kita mengayunkan kaki  kedepan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun