Byyyyaaaaaarrr…
Terdengar ledakan keras di halaman gubuknya. Perapian yang tadinya di dalam gubuk kini, berhamburan ke luar gubuknya. Sehingga menimbulkan cahaya yang terang benderang di halamannya. Dengan langkah yang gontai Hawe menuju halamannya. Suara Songko yang tadinya kasak – kusuk seketika hilang, Hawe mengusap sedikit peluh di lehernya lalu kembali ke dalam gubuknya.
Sepanjang pagi hingga siang, seperti biasa Hawe melaksanakan rutinitasnya sebagai seorang petani. Menjelang senja. Hawe duduk bersila di halaman gubuknya. Nampaknya dia mempersiapkan sesuatu. Berbagai akar pohon dan segala macam botol – botol kecil yang terlilit dengan sobekan kain berwarna merah berada di depannya. Tangannya sibuk meracik sesuatu. Hawe menunggu malam menjelang bulan akan muncul pada larut malam. Sebab Purnama telah lewat. Berarti bulan akan muncul dari balik bukit itu tepatnya sudah hampir larut. Dengan ikat kepala berwarna merah Hawe telah mempersiapkan semuanya.
********
Jauh dari tempat tinggal Hawe. Di pinggiran sebuah dusun kecil. Seorang kakek tengah duduk sambil menabuh tagonggong** di rumahnya yang kecil. Orang memanggilnya Ompa. Usianya bisa ditaksir sekitar tujuhpuluhan tahun. Sambil menuang minuman saguer***, di gelasnya yang terbuat dari batok kelapa. Tempat saguer pun di buat dari sepotong bambu yang dibentuk sehingga kelihatan sangat alami. Sekali – kali saguer itu diteguknya. Lalu diikuiti dengan lagu yang dinyanyikannya. Dengan iringan gendang yang ditabuhnya, Ompa itu kelihatan sangat riang sekali. Bahasa dalam lagunya tidak dapat dimengerti. Mungkin Ompa itu memakai bahasa daerahnya. Ya..bahasa Sangihe yang sangat dalam sekali. Sebuah kepulauan Nenusa.
Di daerah sangihe dan sekitarnya sudah menjadi tradisi jika ada kedukaan atau ada salah satu warga yang meninggal dunia, maka pada malam hari sesudah pemakaman akan diadakan penghiburan lewat lagu – lagu yang memuja kepada Sang Khalik Semesta Alam. Kebanyakan tradisi ini diikuti oleh para orang tua.
Tak lama kermudian Ompa tidak sendirian lagi. Sahabatnya yang bernama Medelu telah ikut bergabung. Ompa dan Medelu kemudian akhirnya terlibat dalam nyanyian – nyanyian dengan bahasa daerahnya. Mereka seperti berbalas – balasan pantun lewat lagu – lagunya.
“Ompa. jam berapa kita berangkat !” Medelu bertanya sehabis meneguk minuman saguer.
“Sekarang juga, Medelu. Kita habiskan dulu saguer ini. Lalu kita berangkat. O’ ya. siapa yang meninggal sebetulnya!”
“Istri dari Lahena, Ompa. Kamu kenal dia kan?”
Mereka berdua terlibat percakapan dengan memakai bahasa daerah. Ompa hanya menganggukan kepalanya . Karena sehabis meneguk saguer.