Aku melipat jiwa yang lusuh kemarin di sepertiga kilometer
Lebam segala jalan kulintas tepian hutan cemara berjejer
Seakan ikut menatap kaki mengisut  terus bertengger
Di retak tanah yang  sehabis perginya mentari tersendeng
Â
Dengan berkaca pada  wajah rembulan berpucat pasih
Sehabis  purnama memetah menudung raut bumi
Sebegitu jua lara cinta ini seumpama basih
Yang tak pernah raih menggenggam nasib
Â
Pada lantunan  elegi ini yang tiada pendar mengais
Ku hirup riak gelombang, menunggu titis sang gerimis
Untuk meniti cinta di kelopak embun, walau
Sejenak menawarkan dahaga kian berkekompangan
Â
Waktu terus melesap, serupa anak panah sang dewi kinasih
Menghujam perut langit, ranting – rangtingpun patah gemeretak
Tetapi aku masih berdiri di bawah pohon gaharu tua
Menunggu sebuyung embun menetes , satu kian satu:
Â
@rskp, 20092015,,,,    Jakarta
Â
[caption caption="Google+"][/caption]Gambar Ilustrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H