Mohon tunggu...
Serlly Nurlita
Serlly Nurlita Mohon Tunggu... Penulis - Author

Menulislah dari hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Seperti Lilin

5 Desember 2020   16:20 Diperbarui: 5 Desember 2020   16:29 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lia ... kamu tuh jangan kayak Lilin. Menerangi tapi habis, " kata Kak Sari dengan nada kesal.

Lia menatap heran Kak Sari. Apa salahnya dengan menolong orang lain. Kenapa juga dia sampai menanggapnya bak lilin. 

"Kak ... kenapa sih kalau aku bantu temanku,  Sari protes terus, " kata Lia.

"Lia ... Lia. Kamu tahu nggak, kalau teman-temanmu cuma manfaatin kamu, " ucap Kak Sari.

Lia tertawa kecil. Prasangka buruk menghinggapi kakak sulungnya. Ingin dia membantahnya, tapi takut timbul Perang Dunia Ketiga. Lebih baik menghindar.

"Aku salat Ashar dulu ya. Belajar salat tepat waktu, " ucap Lia mengakhiri perdebatan dengan Kak Sari.

Lia melangkah menuju kamar tidur. Membuka pintu kamar mandi. Mengambil air wudhu. Basuhan air di wajah memberikan ketenangan hati.

Lia mengambil mukenah dan salat. Tak lupa memanjatkan doa untuk kedua orang tua, dirinya, dan keluarganya, termasuk buat Kak Sari.

Habis salat, Lia memperlambat keluar dari kamarnya. "Ya Allah ... salahkah aku membantu teman-temanku. Mereka minta tolong  padaku. Dan aku tak kuasa menolaknya. Selagi aku mampu menolong mereka, " keluhnya.

"Tok ... tok ... tok ...." suara pintu kamarnya diketuk.

"Lia ... makan malam dulu, " panggil Kak Sari dari balik pintu.

Lia turun dari peraduannya. Sebetulnya dia malas makan. Tapi, ajakan makan dari Kak Sari membuatnya terpaksa makan.

Kak Sari menunggu Lia di meja makan. Sejak kedua orangnya meninggal, Lia tinggak berdua dengan Kak Sari.

"Ini bandeng goreng kesukaan kamu, " kata Kak Sari.

Lia tersenyum melihat masakan favoritenya di meja makan. Dia mencubit sedikit kulit bandeng dan memakannya.

"Eeheem ... top banget. Enak ...., " pujinya.

"Kakak minta maaf, tadi agak keras sama kamu, " ucap Kak Sari.

Lia tersenyum memandang wajah Kak Sark. " nggak apa-apa kok, " ucapnya.

Keduanya makan malam sambil bersenda gurau. Habis makan, mereka cuci pirinh bareng dan menghabiskan malam di  depan televisi.

"Kenapa kamu suka membantu teman-temanmu. Sering kakak berpikir, kalau temanmu itu cuma manfaatkan kamu. Kebaikkanmu, " ujar Kak Sari.

"Jangan prasangka buruk, Kak. Kalau mereka minta tolong, karena mereka kesulitan. Anggaplah itu ladang amal kita, " ucap Lia lembut.

"Itu Dina, Mia, Bima, dan siapa itu yang satunya lagi. Mereka pinjam uang kamu, tapi nggak dikembalikan, " tegur Kak Sari.

 Lia tak bisa membantah Kak Sari. Tapi tak bisa juga lari dari hadapan kakaknya. "Anggap saja sedekah ...., " katanya.

"Belum lagi Arina yang hampir tiap hari minta tolong kamu. Minta diantar ke sini lah, minta bantu urus itu. Memang kamu Departemrn Sosial! " protes Kak Sari.

Lia mengubah posisi duduknya. Mendekati Kak Sari. Menekan emosinya. Karena ia tahu Kak Sari itu kalau marah itu tak bisa dilawan.

"Kak ... kita pernah lewati saat tersulit. Waktu Papa dan Mama baru meninggal. Keluarga Papa dan Mama tak perduli dengan kita, " kata Lia.

"Apa hubungannya?! " tanya Kak Sari.

"Masih beruntung kita punya Bu Lasih. Tetangga kita yang baik hati. Bu Lasih dan suaminya menanggap kita anak kandungnya, " jelas Lia.

Kak Sari terdiam. Ingatannya melayang kepada mendiang kedua orang tuanya. Saudara Papa dan Mama tak memerhatikan mereka. Bahkan tega mengakali pensiun Papa agar bisa diambil oleh Om Warno, adik Kandung Papa.

"Kak ... Bu Lasih itu bukan siapa-siapa kita. Dialah yang dikirim Allah untuk membantu kita, " nasihat Lia.

Ponsel Lia berdering. Telepon masuk dari Winda, sahabat kecilnya. Lia mendengarkan dengan serius. 

"Sabar ... Win. Pasti ada jalan keluar. Iya ... Insha Allah aku bantu kamu, " kata Lia.

Lia menutup ponselnya. Kak Sari menatap penuh selidik. "Winda? " tanya Kak Sari.

"Iya. Winda hendak nikah dengan Adi, pacarnya dari SMA. Tapi, dilarang keras oleh Kakaknya. Kata Kakaknya, Adi bukan PNS. Tidak pantas bersanding dengan Winda, " jelas Lia.

"Lantas? " tanya Kak Sari lagi.

"Adi melamar Winda, minggu lalu. Tapi semua kakaknya tidak ada yang mau membantu pesta pernikahan mereka, " jelas Lia.

"Kenapa dia telepon kamu? " tanya Kak Sari penasaran.

"Winda mau minta tolong sama aku. Untuk membantu ... membantu persiapan pesta pernikahannya, " katanya.

Kak Sari memegang kedua pundak Lia. "Bantulah dia. Kasihan," katanya.

"Makasih Kak. Kak ... aku bukan seperti lilin, " ucap Lia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun