Lia tak bisa membantah Kak Sari. Tapi tak bisa juga lari dari hadapan kakaknya. "Anggap saja sedekah ...., " katanya.
"Belum lagi Arina yang hampir tiap hari minta tolong kamu. Minta diantar ke sini lah, minta bantu urus itu. Memang kamu Departemrn Sosial! " protes Kak Sari.
Lia mengubah posisi duduknya. Mendekati Kak Sari. Menekan emosinya. Karena ia tahu Kak Sari itu kalau marah itu tak bisa dilawan.
"Kak ... kita pernah lewati saat tersulit. Waktu Papa dan Mama baru meninggal. Keluarga Papa dan Mama tak perduli dengan kita, " kata Lia.
"Apa hubungannya?! " tanya Kak Sari.
"Masih beruntung kita punya Bu Lasih. Tetangga kita yang baik hati. Bu Lasih dan suaminya menanggap kita anak kandungnya, " jelas Lia.
Kak Sari terdiam. Ingatannya melayang kepada mendiang kedua orang tuanya. Saudara Papa dan Mama tak memerhatikan mereka. Bahkan tega mengakali pensiun Papa agar bisa diambil oleh Om Warno, adik Kandung Papa.
"Kak ... Bu Lasih itu bukan siapa-siapa kita. Dialah yang dikirim Allah untuk membantu kita, " nasihat Lia.
Ponsel Lia berdering. Telepon masuk dari Winda, sahabat kecilnya. Lia mendengarkan dengan serius.Â
"Sabar ... Win. Pasti ada jalan keluar. Iya ... Insha Allah aku bantu kamu, " kata Lia.
Lia menutup ponselnya. Kak Sari menatap penuh selidik. "Winda? " tanya Kak Sari.