"Bentang politik kita-lah yang berpotensi merusak bentang alam dan bentang lingkungan hidup kita". Kalimat yang diucapkan oleh salah seorang aktivis JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) bernama, Merah Johansya Ismail. Dalam sebuah presentasi terkait kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan batu-bara di Pulau Kalimantan.
Bukan saja terjadi degradasi lingkungan, tetapi aktivitas dari industri ekstraktif tersebut telah memakan korban jiwa. Sekitar 32 anak-anak mati tenggelam di dalam lubang bekas eksploitasi tambang di Kalimantan Timur. Ironis-nya lagi, perusahaan-perusahaan tambang tersebut tidak melakukan reklamasi setelah kegiatan eksploitasi telah selesai.
Bekas-bekas galian tambang batu-bara tersebut dibiarkan terbuka hingga pada akhirnya menelan korban jiwa. Kisah ini kemudian diangkat oleh Dandhy Dwi Laksono dalam sebuah film dokumenter berjudul "Sexy Killers".
Film yang membongkar kebusukan politik transaksional dalam lingkaran oligarki yang ada relevansinya dengan kontestasi Pilpres 2019. Seperti kata seorang ilmuwan politik bernama Jeffrey A. Winters "Indonesia adalah Negara demokrasi, sekaligus Negara oligarki".
Ritual demokrasi (Pemilu) adalah sebuah formalitas dan sandiwara. Seolah-olah rakyat yang menentukan siapa presiden yang diinginkan. Tetapi fakta-nya rakyat hanya memilih dan yang menentukan adalah para oligarki. Hal tersebut tergambar pada saat debat Pilpres ke-2 (dua) tentang visi-misi lingkungan hidup. Kedua kandidat tidak saling membalas argumen, melainkan hanya saling mengiyakan. Seperti sedang berkompromi.
Sebab para kandidat Pilpres 2019, entah 01 atau 02 sama-sama didukung oleh para oligarki yang sama-sama memiliki kepentingan bisnis. Meski terlihat berbeda dalam pilihan politik, tetapi dalam hal bisnis mereka memiliki kepentingan yang sama. Mereka memiliki perusahaan-perusahaan yang ter-korelasi antara satu dengan yang lainnya.
Bagaimana mungkin, orang-orang yang duduk sebagai dewan energi nasional dan menentukan arah kebijakan energi, sekaligus memiliki perusahaan-perusahaan pertambangan batu-bara yang bergerak dari hulu ke hilir (Penambangan - PLTU). Bertugas untuk menyuplai pasokan listrik di Pulau Jawa dan Bali. Dan perusahaan-perusahaan ekstraktif tersebut juga turut andil dalam proses pengrusakan lingkungan pada daerah-daerah di Kalimantan. Pulau Jawa dan Bali yang diterangi listrik sementara lingkungan di Kalimantan rusak parah. Belum lagi jika berbicara mengenai dampak negatif yang diterima oleh masyarakat sekitar akibat dari beroperasi-nya PLTU.
Mungkin itu-lah yang menyebabkan Presiden ke-4 (empat), K.H. Abdurraman Wahid alias Gus Dur hanya menjabat dalam waktu singkat. Karena Gus Dur adalah seorang presiden yang tidak terikat dalam pusaran oligarki atau para oligarki melihat karakter dan kepemimpinan Gus Dur sebagai ancaman buat eksistensi mereka. Sehingga beliau harus dilengserkan dengan cara dan alasan apa-pun.
Supaya mereka (oligarki) bebas menentukan siapa para penguasa yang dapat diajak berunding dalam proses bagi-bagi hasil dari kekuasaan. Seperti bermusyawarah untuk sebuah mufakat. Dalam konteks anda dapat apa, saya dapat apa. Bahasa keren-nya "Koalisi."
Bagi-bagi hasil kekayaan alam, berupa tambang, minyak, gas dan hasil hutan untuk di ekstraksi semaksimal mungkin. Sehingga orang yang kaya akan tetap kaya, dan orang yang miskin akan tetap miskin. Selama para penguasa (Presiden, Gubernur, Bupati/walikota) tersebut masih berkuasa, maka selama itu pula segala jenis kekayaan alam akan di sedot hingga sampai ke akar-akarnya.
Kalau-pun terjadi pergantian kekuasaan, mereka (oligarki) dengan kekuatan uang-nya akan memastikan bahwa sang penguasa baru harus tetap dapat melindungi kepentingan bisnis mereka. Dengan tujuan menjamin keamanan, pelonggaran kebijakan (tender proyek), akses perizinan, bahkan hingga pembiaran pelanggaran hukum.