ISSUES
1. Faminist
Analisis faminis cerita di atas mengenai cara dimana lingkungna budaya pada waktu itu, untuk menafsirkan cerita tersebut. Tingkah laku dalam cerita dapat dilihat sebagai hasil dari ekspektasi masyarakat terhadap perempuan. Karakter dalam cerita menarik perhatian sepanjang sejarah sastra. Perilaku, citra diri, dan pandangan Mathilde pada dunia yang dia harapkan dan sikap masyarakat patriarki tempatnya tinggal. Mathilde percaya dirinya wanita istimewa dan berhak mendapat perlakukan khusus karena kecantikan dan pesonanya, melupakan fakta bahwa dia tidak berasal dari kelas sosial yang tinggi. Penampilan mewah menjadi obsesinya, memperlihatkan bahwa wanita diharapkan untuk fokus pada penampilan mereka dan menarik pria yang mampu memberi mereka kemewahan (de Maupassant).
Di sisi lain suaminya (Monsieur Loisel) seorang pekerja keras dan membuat banyak pengorbanan untuk Mathilde. Perspektif feminist hal ini dapat diartikan sebagai komentar tentang bagaimana masyarakat menilai laki-laki, dan bagaimana pria menilai perempuan. Faktanya Mathilde di gambarkan sebagai sosok matrealist, sedangkan Monsieur Loisel di gambarkan sebagai pria pekerja keras. Dari perspetif faminist, cerita ini memiliki kecenderungan dimana masyarakat memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki (Bertens, 137-41).
Cara berlawanan juga di tampilkan dalam sastra tersebut. Cerita tersebut menunjukkan cara penilaian yang tidak adil terhadap perempuan dalam masyarakat. Wanita biasanya dikaitkan dengan sifat negatif, seperti Mathilde dan sifat materialismnya, sedangkan pria diasosiasikan dengan sifat yang lebih positif. Dalam cerita, Mathilde berpikir dirinya lebih berharga dari wanita lain karena penampilannya memperlihatkan gagasan bahwa wanita akan dihargai saat kecantikan mereka di atas segalanya. Dengan memahami sastra dari perspektif feminist, pembaca dapat mulai menyadari tren ini dalam kehidupan sehari-hari.
2. Simbol
Untuk menganalisis dari perspektif formalis, kalung menjadi symbol yang sangat bermakna yang dalam cerita tersebut. Tanggapan bahwa kalung tersebut lebih dari kalung biasa dan pembaca bisa menemukan arti dari symbol itu. Meskipun terlihat indah dan mewah, tapi sebenarnya tidak memiliki harga yang pantas. Kalung menggambarkan obsesi Mathilde dan kecantikannya, seperti symbol kalung, kecantikan Mathilde tidak memiliki nilai dalam kepribadiannya. Kalung dapat dengan mudah diartikan dari perspektif formalis jika pembaca akrab dengan benda umum yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Mathilde ataupun kalung itu indah, tetapi keduanya tidak memiliki nilai yang pantas.
Seperti yang sudah saya tulis, selain kalung yang menjadi simbol pakaian juga menjadi salah satu simbol yang di gunakan Maupassant sebagai pengukur status sosial dalam cerita. Mathilde di awal cerita digambarkan tidak mampu mendandani dirinya sendiri (hal. 31), ketakutan terbesar Mathilde saat Monsieur Loisel memberikan undangan pesta karena dia tidak memiliki pakaian dan perhiasan yang bagus. Di akhir cerita, Mathilde yang berada di kelas sosial menengah harus tinggal di tempat yang lebih kecil demi melunasi hutang kalung yang dia hilangkan, Mathilde digambarkan seperti wanita dari kalangan rendah, rambutnya berpakaian buruk dan lusuh, begitu juga rambutnya yang acak-acakan (hal 36 - 7).
3. Imajinasi
Mathilde selalu membayangkan, seperti apa hidupnya jika dia terlahir di keluarga kaya. Saat berpesta, menggambarkan kegembiraan Mathilde dan respon positif dari tamu lainnya. Bagian tersebut terpisah dari gaya cerita realistis dengan menggunakan kata ‘elegan’, ‘kejayaan’, ‘kemenangan’, untuk menggambarkan kegembiraan pesta kelas atas.
Maupassant menuliskan dengan gamblang, keromantisan tentang adegan pesta untuk menunjukkan pentingnya kelas sosial bagi kehidupan di Perancis abad ke-19.